Thursday, January 22, 2009

Demokrasi dan Perubahan Sosial di Indonesia

Pendahuluan
Demokrasi dan perubahan sosial bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Sebagai satu muatan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi menjadi semacam “virus” yang mendorong ke arah perubahan sosial. Demokrasi telah menjanjikan kepada seluruh umat manusia akan satu tatanan yang penuh keserasian, kemerdekaan, kebebasan sehingga wajar jika Francis Fukuyama yakin bahwa demokrasi merupakan akhir sejarah ideologi umat manusia sebab tidak ada lagi nilai-nilai kemanusiaan yang mampu diterima secara universal, kecuali demokrasi.


Secara historis, demokrasi memang lahir di Barat. Gagasan mengenai demokrasi telah diwariskan oleh kebudayaan Yunani Kuno lebih dari dua puluh lima abad yang lampau, namun nilai-nilainya mampu merasuki setiap kultur suatu masyarakat hampir di semua negara. Setiap penguasa bahkan selalu mengklaim kekuasaannya sebagai demokratis meskipun dalam dirinya adalah tidak demokratis.

Di Indonesia, gagasan mengenai demokrasi memang telah direspons oleh para founding fathers kita tatkala republik ini menikmati kemerdekaannya. Gagasan-gagasan demokrasi tersebut kemudian secara legal-formal telah menjadi bagian dari undang-undang dasar yang dibuat terutama mengenai hak atas kebebasan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, berkumpul dan berserikat.
Namun demikian, nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat terkadang menjadi persoalan yang rumit ketika diterapkan pada suatu kondisi kultural yang berbeda. Hal ini disebabkan karena situasi kultural kerakyatan dalam suatu negara biasanya selalu memperlihatkan ciri-cirinya yang khas sehingga penerimaan terhadap nilai-nilai liberal dalam demokrasi Barat terkadang bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan tradisi rakyat sebagaimana hal ini terjadi di Indonesia. Akibatnya, beberapa istilah baru muncul dalam sejarah Indonesia, seperti Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.

Makna dan Konsep Demokrasi
Berbicara mengenai konsep demokrasi ternyata tidak ada satu keragaman pengertian mengenai kata demokrasi itu sendiri. Hampir dari setiap definisi mengenai demokrasi yang pernah dilontarkan tidak memiliki satu pengertian demokrasi secara universal. Hal ini disebabkan bahwa konsep demokrasi sangat luas, ia tidak hanya berbicara pada tataran politik, namun juga ekonomi, sosial dan bahkan budaya. Itulah sebabnya mengapa kemudian muncul definisi “minimalis” dan “maksimalis” atau “normatif” dan “empirik” bagi demokrasi sebagai upaya pencarian pengertian mengenai demokrasi secara sistematis dan bisa diterima secara universal. Namun pada kenyataannya hal itu sulit terwujud.
David Beetham, sebagaimana dikutip Anders Uhlin, mengemukakan definisi yang cukup ampuh mengenai demokrasi seperti ini. Dia mendefinisikan demokrasi sebagai, “sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat”. Tatanan yang demokratis adalah “yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas memiliki hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan semacam itu”. Dari definisi tersebut telah masuk unsur “kontrol masyarakat” dan “kesetaraan politis” yang diterima sebagai ciri tatanan demokratis yang universal.
Demokrasi tidak lagi dipahami sebagai suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagaimana yang dipraktekkan pada zaman Yunani Kuno. Makna demokrasi seperti ini nampaknya lebih bernuansa politis karena keputusan-keputusan dijalankan secara langsung oleh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Model demokrasi langsung seperti ini akan sulit diimplementasikan terhadap negara-negara modern seperti sekarang ini, mengingat meningkatnya jumlah penduduk, faktor geografis (meningkatnya luas wilayah negara) maupun kompleksitas kehidupan negara yang semakin lama semakin rumit.
Oleh karena itu, Joseph Schumpeter mengemukakan apa yang ia sebut sebagai “teori lain mengenai demokrasi”. “Metode demokratis”, katanya, adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat”. Demokrasi pada masa-masa sekarang tidak lagi dipahami sebagai suatu gagasan konseptual namun lebih mengarah kepada hal-hal yang prosedural sebagaimana yang kemudian di kembangkan oleh Schumpeter ini.
Tradisi demokrasi prosedural a la Schumpeter ini kemudian dianggap sebagai metode demokrasi dalam upaya proses perubahan sosial yang banyak diterapkan oleh beberapa negara, terutama negara-negara Dunia Ketiga. Tradisi Schumpetarian ini juga yang kemudian digunakan oleh Huntington dalam menganalisis tingkat demokratisasi negara-negara, khususnya negara-negara Dunia Ketiga. Hasil survei ini kemudian mencatat bahwa antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1992 tiga puluhan negara telah mengalami proses transisi menuju demokrasi.
Pemahaman demokrasi dalam konteks seperti ini (prosedural) mengizinkan kita untuk mengamati: apakah dalam suatu sistem politik pemerintah memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakatnya untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi politik mereka melalui organisasi politik yang ada? Di samping itu, kita juga diperkenankan untuk mengamati sejauh mana kompetisi antara para pemimpin dilakukan secara teratur untuk mengisi jabatan politik. Dengan demikian, makna demokrasi secara prosedural telah memberikan beberapa patokan kepada kita tentang bagaimana membuat sebuah negara itu menjadi demokratis diukur dari tingkat partisipasi, kontes, kontrol masyarakat dan kesetaraan politis.
Sejauh ini, konsep demokrasi prosedural yang ditawarkan Schumpeter telah menjadi bagian dari analisa yang paling komprehensif dalam mengetahui sejauh mana konsep tersebut dapat menjelaskan suatu perubahan sosial yang terjadi di beberapa negara berkembang. Untuk kasus Indonesia, gambaran yang paling jelas mengenai potensi-potensi demokratis dalam rangka perubahan sosial terdapat pada masa Orde Baru.

Demokratisasi dan Perubahan Sosial di Indonesia
Demokratisasi dipahami sebagai suatu perubahan yang panjang dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Dalam hal ini biasanya demokratisasi berjalan seiring dengan modernisasi yakni perubahan dari bentuk tatanan tradisional ke arah yang lebih modern. Dengan demikian, demokratisasi identik dengan perubahan sosial.
Di Indonesia, proses demokratisasi yang paling jelas dapat kita lihat pada masa Orde baru. Terutama pada awal 1980-an dan pertengahan 1990-an dimana pada masa tersebut gerakan-gerakan prodemokrasi mulai muncul dalam rangka memperjuangkan demokrasi dan demokratisasi. Kemunculan gerakan-gerakan tersebut disinyalir sebagai respons terhadap cara orang di negara-negara lain menyuarakan demokrasi. Terutama sekali oleh ekses yang paling luas dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang banyak memberitakan perkembangan negara lain. Gerakan “People’s Power” di Filipina pada 1989, demonstrasi rakyat yang mempercepat transisi Chun Doo Hwan kepada Roh Tae Woo di Korea Selatan pada 1987-1988, runtuhnya ideologi komunis di Soviet, menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan prodemokrasi di Indonesia.
Gerakan-gerakan ini kebanyakan disebabkan oleh rezim otoriter Orde Baru yang secara historis nyaris kebal terhadap gelombang demokratisasi global. Demokratisasi memang ada tapi hanya pada tahap lip service, belum sampai kepada tahap pelaksanaan yang konkret. Demokratisasi di Indonesia belum diiringi oleh liberalisasi. Padahal, liberalisasi merupakan syarat penting terwujudnya demokrasi. Kebebasan yang semakin longgar kepada media, ruang yang lebih luas bagi aktivis organisasi, dilakukannya perlindungan terhadap individu, dilepaskannya sebagian besar tahanan politik, kembalinya tokoh-tokoh yang diasingkan, yang kesemuanya itu barangkali merupakan ukuran bagi terwujudnya demokrasi. Inti dari permasalahan ini adalah “kebebasan politik” dimana orang-orang dalam satu negara bebas melakukan kegiatan dan bisa menikmati hak-hak politik dan kebebasan sipil mereka.
Proses demokratisasi semacam ini yang dikatakan oleh Huntington sebagai gelombang transisi dari pemerintahan nondemokratis kepada pemerintahan yang demokratis, dimana pada proses ini ada kecenderungan untuk memfokuskan pada proses transisi rezim. Pada tingkatan yang paling sederhana, demokratisasi dalam hal ini mensyaratkan: (1) berakhirnya suatu rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu.
Proses demokratisasi semacam ini hanya terbatas pada wilayah politik. Padahal, penelitian menggenai demokrasi haruslah dianggap sebagai suatu wacana yang lebih luas, mencakup sosial dan ekonomi. Hal ini akan menghilangkan kajian demokrasi yang sempit, hanya terbatas dalam bidang politik. Pada kajian demokratisasi seperti ini, banyak aktor-aktor yang terlibat sebagai penggerak demokratisasi.
Peran kelas menengah pada masa Orde Baru juga dapat ditunjuk sebagai faktor yang berpengaruh dalam proses demokratisasi. Golongan menengah ini pada umumnya membuat organisasi-organisasi, seperti LSM, organisasi dakwah keagamaan, lembaga pendidikan dan sebagainya. Ketika memasuki organisasi itulah, mulai timbul kesadaran mengenai hak-hak individu, termasuk kebebasan untuk berpendapat. Mereka membentuk apa yang sekarang disebut masyarakat madani atau civil society.
Pembangunan nasional Indonesia dalam banyak hal telah menunjukkan keberhasilan. Sistem pendidikan dan media massa, identitas nasional dibangun. Tidak ada yang menyangkal bahwa pembangunan sosial-ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru sangat berhasil. Hal itu dapat kita lihat dari meningkatnya pendapatan perkapita yang sudah mencapai US$ 550, kemampuan baca-tulis orang dewasa yang sudah mencapai 75%, urbanisasi yang sudah menampakkan dirinya serta semakin banyaknya masyarakat yang diekspos media massa. Hubungan antar berbagai kelompok etnis dan agama di Indonesia tidak menampakkan gejala-gejala konflik serius, jika tidak dikatakan sebagai harmonis.
Gambaran di atas nampaknya merupakan gejala demokratisasi yang positif pada masa Orde Baru. Digulirkannya isu “persatuan nasional” oleh rezim Orde Baru memang sudah menjadi prasyarat bagi demokratisasi. Teori Demokrasi umumnya membenarkan bahwa kesatuan nasional adalah prasayarat terwujudnya demokrasi. Merupakan keharusan setiap bangsa untuk mendifinisikan “demos” dari demokrasi. Keberagaman etnik, budaya dan geopolitik serta faktor-faktor lain yang dianggap sebagai penyebab konflik, dilihat sebagai penghambat demokrasi.
Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang mantap selama rezim Suharto berkuasa seharusnya menimbulkan liberalisasi politik. Namun hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, krisis ekonomi yang terjadi malah jatuhnya sang diktator. Hal inilah barangkali yang dijadikan alasan bagi kejatuhan rezim Orde baru, bahwa terjadi ketimpangan dalam proses demokratisasi; dalam bidang politik, ternyata banyak proses demokratisasi yang terhambat. Akibatnya, tuntutan terhadap demokratisasi politik semakin membesar dan puncaknya terjadi pada Mei 1998 dengan ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru.
Munculnya gerakan-gerakan prodemokrasi di Indonesia pada satu sisi dapat dilihat sebagi suatu gerakan “ideologi” yang menginginkan perubahan. Ideologi ini pada dasarnya mempunyai tugas mengangkat masyarakat dari kelambanan menuju percepatan perubahan terhadap tatanan yang ada. Meskipun diantara gerakan prodemokrasi di Indonesia proses “percepatan” terkadang dimanifestasikan melalui gerakan-gerakan revolusioner atau transformatif. Tapi yang jelas, keberadaan gerakan-gerakan ini telah menjadi aktor utama dalam proses demokrasi dan perubahan sosial di Indonesia.
Gerakan-gerakan prodemokrasi yang dimaksud adalah merupakan individu-individu yang mempunyai inisiatif dan kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan yang mengarah kepada perubahan. Namun, mereka biasanya tidak bertindak dalam sebuah kekosongan tetapi dalam suatu konteks kultural-struktural di mana pelbagai keyakinan, sumber daya organisasional, dan penemuan-penemuan teknologi membentuk prilaku mereka. Dalam menganalisa peran gerakan prodemokrasi di Indonesia, Uhlin menjelaskan empat kategori yang membedakan beberapa bentuk gerakan tersebut: 1) kelompok pembangkang elit dan intelektual; 2) generasi LSM senior; 3) aktivis mahasiswa; dan 4) generasi baru LSM prodemokrasi dan hak asasi manusia.
Gerakan-gerakan tersebut pada dasarnya telah membentuk civil society yang kuat sehingga proses perubahan yang terjadi berada dalam koridor demokrasi secara tepat. Tanpa kemunculan gerakan-gerakan prodemokrasi ini barangkali perubahan sosial dan demokratisasi di Indonesia tidak mungkin terjadi secepat ini. Dengan demikian, harapan besar selanjutnya terletak pada elemen-elemen civil society di Indonesia dalam meneruskan perubahan ke arah yang lebih baik.


Daftar Bacaan

Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999

Anders Uhlin Ph.D, Demokratisasi di Indonesia: Peluang dan Hambatan, dalam Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 2, Tahun 1999, hal. 77.

Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia, Rofik Suhud (terj.), Bandung, Mizan, 1998

Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (terj.) Lukman Hakim, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992

Juan J. Linz et. Al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, Rahmani Astuti (terj.), Bandung, Mizan, 2001

M. Dawam Rahardjo, Kelas Menengah dan Demokratisasi Politik, dalam Demokratisasi Kekuasaan, M. Deden Ridwan, et. Al. (Editor), Jakarta, LSAF, 1999

Miriam Budiarjdo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1977
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (terj.) Asril Marjohan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1995

UUD 1945, Pasal 28

No comments:

Post a Comment