Wednesday, January 28, 2009

Gagalnya Islam Politik di Indonesia

Salah satu kajian klasik tetapi menarik untuk diperdebatkan adalah persoalan mengenai hubungan antara Islam dan politik . Meski keduanya merupakan dua entitas yang berbeda namun secara historis memiliki keterikatan yang inheren: yang satu sakral dan yang lainnya profan namun tetap memiliki daya sinkretis akibat relasi kesejarahan yang panjang. Hal mana juga disebabkan oleh adanya fakta sejarah bahwa Nabi saw setelah wafatnya tidak pernah memberikan satu bentuk yang pasti tentang negara Islam serta unsur-unsur atau lembaga-lembaga yang menopang di bawahnya. Oleh karena itu, umat Islam mempunyai kebebasan untuk membentuk dan membangun “gaya” politiknya sendiri.



Menarik untuk diamati, bahwa sebenarnya persoalan yang pertama kali timbul sejak Nabi saw wafat adalah justru persoalan politik, dimana segera terjadi krisis kepemimpinan sehingga menuntut para sahabat Nabi saw untuk segera mengangkat seseorang yang dapat menggantikan posisi Nabi saw sebagai pemimpin keagamaan dan politik. Dari sini jelas, bahwa tidak adanya petunjuk dari Nabi saw tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya merupakan fakta historis bahwa persoalan politik menjadi sepenuhnya diserahkan kepada umat. Persoalan ini kemudian menjadi sangat besar dan bahkan menjadi ajang pertumpahan darah pada masa-masa berikutnya hanya karena masalah perebutan kekuasaan politik.
Sampai pada tahap ini kemudian muncul berbagai madzhab pemikiran dalam politik Islam yang hingga saat ini masih berkembang kedalam tiga kecenderungan besar yang memandang hubungan Islam dan politik atau dengan kata lain agama dan negara. Menurut Bahtiar Effendy, kecenderungan tersebut dapat dipetakan menjadi, 1) Islam dan politik tidak bisa dipisahkan; 2) Islam dan politik itu bisa dipisahkan, dan; 3) Islam dan politik memiliki keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik tetapi substansialistik.(Oliver Roy: 2002)
Ketiga kecenderungan pemikiran ini dapat dikatakan hampir mewarnai terhadap apa yang disebut dengan gerakan Islam politik atau gerakan politik Islam di hampir negara-negara yang mayoritasnya adalah berpenduduk Muslim. Tak terkecuali di Indonesia, model dari ketiga kecenderungan pemikiran ini juga dapat dilihat secara nyata baik semenjak kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Di tahun 1940-an kita bisa melihat bahwa perdebatan mengenai bentuk negara antara kelompok Islam dan Nasionalis tidak pernah mengalami kesepakatan yang pasti dan gagal mencapai kompromi. Satu-satunya hasil kompromi antara dua kelompok ini-pun (Islam-Nasionalis) yang tertuang dalam “Piagam Jakarta” ternyata “digugat” kembali sehari setelah kemerdekaan yang hasilnya adalah keterpaksaan kalangan Islam untuk menerima kesepakatan merubah “tujuh kata” yang terdapat dalam Piagam Jakarta. (A. Syafi'i Ma'arif: 1996)
Hasil kesepakatan tersebut telah menghasilkan satu bentuk negara yang memang unik, sebagaimana dikatakan oleh Munawir Sadzali, “Indonesia bukan negara agama (theocratic state), tetapi juga bukan negara sekuler” , suatu pernyataan yang menurut Djohan Effendi telah membingungkan Ismail al-Farouqi salah seorang intelektual muslim asal Mesir. Hasil penerimaan kompromi yang “setengah hati” ini bagi umat Islam harus terus diperjuangkan sehingga tak heran bahwa kemunculan berbagai gerakan baru “Islam politik” di Indonesia merupakan kelanjutan dari mata rantai historis gagalnya penerimaan Piagam Jakarta pada masa-masa awal kemerdekaan. Kasus yang paling jelas dalam hal ini adalah fenomena gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang inti perjuangannya adalah menghidupkan kembali “semangat Piagam Jakarta”.
Sejarah Islam politik di Indonesia memang sangat memiliki arti penting bagi tumbuhkembangnya berbagai gerakan Islam baik yang bersifat legal-formalistik ataupun substantifistik. Keduanya merupakan akibat secara langsung dari polarisasi madzhab pemikiran Islam yang sudah ada sejak awalnya. Umumnya, bagi kalangan Islam yang bercita-cita menjadikan Islam sebagai agama negara mengidealkan sebuah negara Islam yang dalam pengertian “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafhur” (Negara yang damai yang diridhai Tuhan), kelompok ini masuk kedalam kategori legal-formal. Sedangkan sebagian lagi lebih mengorientasikan Islam sebagai sebuah ajaran yang rahmatan lil alamin sehingga cita-cita politik Islam tidak ditransformasikan dalam bentuk formal seperti negara tetapi lebih menekankan terhadap bagaimana ajaran-ajaran Islam yang universal itu bersemayam dalam hati kaum muslimin. Titik tekan mereka lebih mengarah kepada “li izza al-Islam wa al-Muslimun” (untuk kemajuan umat Islam secara keseluruhan). Maka jika kita tarik kedalam wacana besar pemikiran politik Islam, dapat disederhanakan kedalam dua bentuk kecenderungan besar: formalistik dan substantifistik.
Pada tingkatan praksis politik, aktivitas politik Islam—terutama di Indonesia—tampaknya juga disamping dilematis, ia juga selalu mencari aktualisasi diri bahkan tak jarang mengalami kegagalan-kegagalan. Hal inilah yang kemudian menuntut kelompok Islam politik harus merumuskan strategi perjuangannya secara lebih tepat jika ia ingin lebih eksis vis a vis negara. Din Syamsuddin memandang aktivitas politik Islam selama ini kedalam tiga strategi kecenderungan, pertama, strategi akomodatif-justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealitas Islam, dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan garis keras umat Islam. Beberapa aktivis politik Islam yang berasal dari NU dan Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya dapat kita masukkan dalam kategori ini. Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatan sendiri. Ini memiliki konsekuensi kehilangan faktor pendukung, yaitu kekuatan negara itu sendiri yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Strategi seperti ini sering menjadi pola perjuangan kelompok Islam garis keras yang umumnya non kompromis dengan segala sesuatu yang berbau sekularistik. Beberapa aktivis FPI, Lasykar Jihad, Islam Jama’ah, Hizbut Tahrir, dan semacamnya bisa masuk dalam kategori ini. Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, namun tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam satu perjuangan dari dalam (struggle from within). Namun strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektivitas perjuangannya akan dipertanyakan. Strategi model ini biasanya banyak dilakukan oleh beberapa kalangan cendekiawan muslim yang sekaligus memiliki basis massa yang kuat dari organisasi dimana ia berasal. Ia bukan aktivis politik, namun memiliki posisi tawar yang kuat terhadap negara. Beberapa aktor intelektual Muslim yang juga sekaligus memiliki basis massa yang kuat dari organisasi yang dipimpinnya, seperti K.H. Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan lainnya.
Jika kita melihat lebih dekat kondisi Islam di Indonesia, nampaknya kekuatan-kekuatan politik Islam—saya sebenarnya tidak terlalu setuju dengan membuat dikotomi antara Islam politik dan Politik Islam—ini selalu menemui “jalan buntu” ketika mencoba berhadapan vis a vis negara. Perdebatan Konstituante pada masa awal kemerdekaan antar kelompok Islam-Nasionalis yang menghasilkan kompromi “setengah hati” bagi Islam sudah menjadi prediksi bahwa cita-cita negara Islam di Indonesia akan selalu kandas di tengah jalan. Apalagi jika kita melihat perolehan suara pada Pemilu 1955—dan Pemilu-Pemilu berikutnya—membuktikan bahwa Islam tidak pernah mencapai suara mayoritas, padahal umat Islam merupakan penduduk terbanyak di Indonesia.
Apalagi setelah Orde Baru berkuasa, Islam dalam bentuk “gerakan politik” senantiasa dicurigai, dipantau bahkan jika perlu dimusnahkan karena berbagai gerakan politik yang mengacu kepada ideologi tertentu—seperti Islam dan Komunisme—dianggap hanya akan menimbulkan kekacauan dan pemberontakan seperti yang pernah terjadi pada tahun 50-an. Dalam bahasa Orde Baru, kekuatan Islam politik yang mencoba melawan arus dikatagorikan sebagai “ekstrim kanan”. Oleh karena itu, Islam pada masa Orde Baru dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan politik yang berarti bahkan selalu terpinggirkan secara politik.
Kemunculan kembali kekuatan baru gerakan Islam politik nampaknya bisa kita amati pasca lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan. Partisipasi politik yang telah dibuka lebar membuat para tokoh muslim beramai-ramai membuat partai baik yang menggunakan simbolisasi Islam atau yang hanya berbasis Islam. Akhirnya, Islam kemudian hanya digunakan sebagai simbol yang “layak jual” pada setiap ajang Pemilu akan dilangsungkan. Islam hanya menjadi “alat” bagi kendaraan politik tertentu untuk dijadikan jalan meraih kekuasaan. Meski banyak diantara partai yang tidak latah terhadap simbolisasi Islam, namun tetap saja tidak pernah menjadi single majority meskipun semua partai yang berbasis massa Islam berkoalisi. Satu-satunya partai Islam yang tidak menggunakan simbol Islam tetapi memiliki massa cukup besar adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun partai ini-pun “besar” karena merupakan kepanjangan tangan dari organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Jika Indonesia merupakan contoh dari kondisi Islam politik yang selalu mengalami kegagalan, maka di Iran justru menambah semakin uniknya hubungan Islam dan politik. Sejak digulirkannya revolusi Iran 1979, hampir semua institusi pada tingkat negara dicoba untuk dimodernisasi dengan menghindari sebisa mungkin formalisasi Islam. Pada tingkat negara, urusan-urusan politik diserahkan kepada presiden namun kekuasaan tertinggi terletak ditangan para ulama. Kekuasaan “tak-terbantahkan” para ulama Iran ini dikenal dengan konsep wilayat al-faqih yang telah dielaborasi oleh Khomeini dengan menempatkan ulama “terpilih”(ayatullah) secara struktural berada diatas semua institusi kenegaraan.
Pada tingkat tertentu, Iran merupakan sebuah negara Islam yang mencoba memodernisasi diri dari dalam dengan memadukan konsep-konsep Islam dengan tradisi-tradisi Barat. Hal ini dilakukan hasil aliansi antara para ulama tradisional dan para intelektual muda Islam bersama-sama merubah “wajah Islam” di Iran melalui suatu gerakan revolusi. Hasilnya, Iran telah menemukan ruang politiknya tanpa harus dibarengi dengan kata (petunjuk) ilahi, atau dalam bahasa yang lebih sederhana telah terjadi sekularisasi dalam segala bidang di Iran.
Sekularisasi Iran tak terlepas dari peran Syi’isme yang sejak awal telah banyak bersentuhan dengan ideologi-ideologi Barat. Para ulama Syi’ah nampaknya sudah terbiasa mensitesakan pemikiran-pemikiran Barat dan Islam, mereka pada umumnya sangat terbuka terhadap dunia Barat berbeda dengan Islam Sunni yang tampaknya kurang terbuka terhadap dunia Barat. Maka wajar, jika kemudian revolusi Islam sejati hanya terjadi di Iran yang nota bene mayoritas Syi’ah dan tidak menutup kemungkinan bahwa para ulama Syi’ah juga terpengaruh oleh karya-karya Marx yang selalu menghembuskan angin revolusi untuk perubahan umat manusia.
Salah satu ekses dari wilayat al-faqih yang cukup membingungkan adalah peran dan fungsi syari’at dalam konstitusi negara. Syari’at dipandang sebagai suatu subordinasi dari konstitusi negara. Menurut versi Iran, konstitusilah yang menentukan syari’at dan bukan sebaliknya. Dengan mengembangkan suatu pemikiran bahwa hukum posistif dapat menjadi “islami” karena kenyataannya negara ini sudah Islami merupakan pertanda bahwa syari’at akan berakhir sebagai satu-satunya—sebagaimana yang dicitakan Islam politik—landasan norma yuridis. Inilah yang mendorong Oliever Roy beranggapan bahwa Iran merupakan model dari negara “sekular” dimana negara menjadi sumber hukum dan sekaligus sumber legitimasinya sendiri.
Berdasar keterangan diatas, saya beranggapan bahwa Islam politik yang umumnya berjuang demi pemberlakuan syari’at dalam konstitusi negara telah gagal melakukan misinya di Iran. Syari’at Islam di Iran hanya mendapat tempat pada pos-pos yang tidak penting dalam konstitusi negara. Beberapa hukum syari’at yang disetujui masuk dalam konstitusi itupun hanya bersifat simbolis, seperti qishas, hudud, dan diyat yang tetap berada pada pengaruh parlemen untuk mengundangkannya. Hal ini berarti para hakim harus mengacu pada hukum yang diundangkan itu tidak langsung pada syari’at.
Revolusi yang terjadi di Iran ternyata hanya berhasil pada satu sisi, yakni mendorong sekularisasi lebih tinggi ketimbang penyatuan atas tradisionalisme Islam dan modernisme Barat. Ulama—sejak masa Khomeini—telah diturunkan posisinya pada level negara sehingga para ulama-lah sebenarnya yang memegang kekuasaan politik atas negara, meskipun posisi ulama terpisah dari negara. Para ulama telah “disekulerkan” oleh kekuasaan Khomeini terutama para ulama muda (hujjatul Islam) yang direkrut oleh Khomeini karena mempunyai latar belakang pendidikan Barat yang cukup kuat. Dengan menempatkannya pada puncak kekuasaan, para ulama ini memiliki fatwa yang berlaku meski mereka sudah meninggal.
Penyatuan kembali ulama-negara terjadi setelah meninggalnya Khomeini pada 1989. Tak hanya itu, ide-ide revolusioner yang pernah hidup pada masa Khomeini sedikit-demi sedikit kehilangan relevansinya dan menuntut para tokoh Syi’ah Iran merestrukturisasi peran dan fungsi ulama serta negara. Hal ini dilakukan karena mereka tidak mungkin untuk mengembalikan keadaan kepada masa sebelum Khomeini. Islam politik di Iran pasca Khomeini telah gagal merekonstruksi dirinya ditengah arus sekularisasi yang puncaknya terjadi pada pemerintahan sekarang ini.
Kenyataan-kenyataan di atas, nampaknya bisa kita tarik suatu kesimpulan bahwa Islam politik di beberapa negara muslim dalam tataran praksis maupun ideologis mengalami kegagalan-kegagalan. Kegagalan-kegagalan ini diakibatkan oleh adanya pola orientasi Islam politik terhadap situasi kesejarahan pada masa Nabi dan Empat Sahabatnya tanpa memberikan satu alternatif sebuah bentuk masyarakat baru. Obsesi utama dari gerakan Islam politik untuk memberlakukan syari’at Islam pada tingkat konstitusi negara tidak disertai dengan semangat “pembaruan” unsur-unsur syari’at agar dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Mereka pada umumnya masih terkondisikan oleh nostalgia kejayaan Islam pada masa-masa abad pertengahan. Kalau tidak, Islam politik tampak kehilangan arahnya ketika ia mencoba membuat satu alternatif yang benar-benar baru dan benar-benar “modern”. Pada tahap ini, Islam politik justru terjebak pada sekularisasi yang tanpa pilah-pilah yang ujung-ujungnya adalah wacana Islam menjadi tereduksi kedalam tingkat ritualitas yang hanya menjadi urusan pribadi seorang muslim.
Keadaan ini, menurut hemat saya belum dapat dicarikan solusinya sebelum terjadi sebuah “lompatan” dalam sejarah Islam melalui penyadaran kaum muslim terhadap kenyataan-kenyataan bahwa mereka sedang “tertinggal” oleh Barat. “Kesadaran diri” umat Islam menjadi sangat penting bagi mengejar ketertinggalannya dari Barat. Bagi saya, aspek politik hanyalah bersifat komplementer dalam upaya melepaskan dunia Islam dari hegemoni Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana umat Islam mengartikulasikan pemahaman politiknya pada realitas sosial tanpa terjebak oleh mutlak-mutlakan seperti dalam keharusan menegakkan syari’at secara murni atau sekularisasi yang kebablasan. Bagaimana keduanya—Islam dan Politik—berjalan beriring saling mengisi tanpa harus memisahkan atau menyatukan keduanya dalam kerangka pemikiran Islam yang orisinal.

No comments:

Post a Comment