Wednesday, January 28, 2009

Peran Militer dalam Dunia Politik

Kajian tentang militer dalam ranah politik memang sangat menarik untuk dibahas. Militer mempunyai peranan yang sangat signifikan bagi pembangunan politik suatu bangsa. Bisa dikatakan bahwa salah satu cara untuk memutuskan dan menentukan apakah pembangunan politik suatu negara itu berjalan baik atau tidak, dapat dilihat dari peran dan sepak terjang militer dalam kehidupan politik negara tersebut.



Menurut Huntington, dewasa ini telah terjadi banyak perubahan dalam tubuh militer di beberapa negara Asia, Amerika dan Eropa. Kecenderungan terjadinya perubahan bentuk korps perwira militer. Dari bentuk penakluk (warrior) menjadi kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini ditandai oleh perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi“ menjadi “tentara karena panggilan suci“ (abdi negara).
Huntington menyebutkan beberapa ciri pokok terjadinya profesionalisme militer tersebut ke dalam beberapa hal, yaitu:
Keahlian
Suatu kekuatan militer membutuhkan keterampilan dan pengetahuan luas dan mendalam agar mampu mengorganisir, merencanakan, dan mengarahkan aktifitasnya, baik dalam keadaan perang maupun damai. Keahlian tersebut hanya mungkin diperoleh melalui pendidikan, latihan dan pengalaman. Inilah yang membedakan militer profesional dengan militer “amatir“ sebelumnya.
Tidak setiap orang bisa untuk menjadi perwira militer walaupun tingkat intelektualitas dan kualitas kepemimpinannya tinggi. Tingkat profesionalisasi militer yang semakin tinggi menyebabkan seorang perwira harus menghabiskan sepertiga dari kehidupan profesionalnya di bangku pendidikan. Profesionalisasi inilah yang menyebabkan seorang perwira harus siap untuk mengikuti pendidikan untuk setiap promosi kepangkatannya.
Tanggung jawab sosial khusus
Di samping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, seorang perwira militer mempunyai tanggung jawab pokok kepada negara. Konsep “ obligasi sosial “ bagi perwira jauh lebih tinggi dari kelompok profesi lainnya. Hal ini dikarenakan tanggung jawab seorang perwira militer adalah kepada negara.
Karakter Korporasi (corporate character) para perwira
Karakter tersebut melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Berbeda dengan kelompok profesi lainnya, korps perwira militer merupakan suatu “ birokrasi profesional “, karena anggota-anggotanya mengabdi pada birokrasi negara. Tetapi sebagai suatu satuan dalam birokrasi negara, korps perwira juga merupakan suatu unit sosial yang otonom. Diantara sekian banyak kelompok profesi, hanya korps perwira militer yang mempunyai kemandirian dalam birokrasi, lembaga pendidikan, jurnal, asosiasi, dan kebiasaan serta tradisi.
Kepentingan korporasi militer profesional mengharuskan adanya batasan tegas bagi orang-orang yang tidak mengikuti jenjang pendidikan khusus untuk masuk dalam korps perwira profesional. Karenanya, tidak mudah bagi tamtama atau bintara untuk naik pada jenjang perwira dalam keadaan normal. Menurut Huntington, tamtama dan bintara adalah spesialis dalam “ penggunaan kekerasan “ di lapangan. Hal ini berbeda dengan para perwira yang hanya bertugas di balik layar ( bukan pengelola kekerasan ).
Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington sebagai “the military mind“ yang menjadi dasar bagi hubungan militer dengan negara. Etik militer menekankan sifat permanen, irasionalitas, dan kelemahan manusia serta supremasi masyarakat terhadap individu. Etik ini juga mementingkan ketertiban, hierarki dan pembagian tugas serta pengakuan atas “Negara Kebangsaan“ (Nation State) sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Inti dari the military mind adalah suatu ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer tidak ada kemuliaan yang tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil.
Berdasarkan pikiran tersebut, Huntington menegaskan bahwa kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakekatnya menyalahi etik militer profesionalnya. Intervensi militer dalam politik merupakan tanda adanya pembusukan politik (political decay).
Militer Indonesia
Berubahnya nama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) merupakan salah satu tonggak bersejarah dalam menjadikan militer Indonesia menjadi militer profesional. Pemisahan institusi TNI dengan POLRI, dan beberapa usaha mereformasi serta mereposisi TNI dalam hubungannya dengan sipil, semakin memperkuat adanya niat yang tulus dan sungguh-sungguh dari kalangan TNI guna mewujudkan TNI yang profesional.
Niat dan usaha TNI ini, tentunya tidak dapat mewujudkan hasil yang maksimal, tanpa dukungan dari semua komponen bangsa. Usaha kalangan MPR/DPR, terutama ke-legowo-an Fraksi TNI/POLRI untuk menyetujui dan menerima dihapuskannya Fraksi TNI/POLRI dalam keanggotaan MPR/DPR mulai tahun 2004, patutlah diacungi jempol. Keputusan keluarnya TNI/POLRI dari MPR/DPR mulai 2004 ini, merupakan langkah maju yang positif bagi hubungan sipil-militer di Indonesia.
Sokongan yang penuh dari semua pihak, diharapkan akan menciptakan profesionalisme TNI yang benar-benar nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan diharapkan, dengannya, “the military mind” TNI akan dapat terwujud dan terjaga dengan baik.
Akan tetapi di beberapa negara dunia ketiga masih sangat kentara intervensi militer dalam kehidupan politik. Militer selain menjalankan fungsi militernya, juga memainkan peranannya dalam urusan politik (yang sebenarnya merupakan tugas dan fungsi dari sipil atau non militer).
Fakta di atas terjadi karena adanya beberapa faktor. John P. Lovell dan C.I. Eugene Kim dengan sangat gamblang menjelaskan beberapa faktor yang mendorong militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik dalam suatu negara, yaitu:
•Rangkaian sebab yang menyangkut terjadinya ketidakstabilan sistem politik. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan dalam kehidupan politik. Sistem politik yang peka inilah yang paling serius mengakibatkan timbulnya hal-hal yang mendiskreditkan pemerintahan sipil. Termasuk didalamnya ada tidaknya pola-pola legitimasi yang secara umum diterima dalam masyarakat yang menyangkut jalannya lembaga-lembaga sipil dan pemerintahan.
•Rangkaian sebab yang berhubungan dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik. Bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan. Yang menarik dalam hal ini adalah bahwa dalam beberapa hal dominasi militer di dalam kancah politik justru “diundang” atau dipermudah oleh golongan sipil.
•Rangkaian sebab yang berkaitan dengan political perspectives kaum militer. Yang paling menonjol diantara beberapa perspektif politik militer adalah yang berhubungan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat, dan juga yang berhubungan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan kaum sipil dan terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Apabila beberapa rangkaian sebab di atas muncul dalam suatu negara, niscaya militer akan dengan cepat untuk masuk dalam arena poltik. Militer akan mempergunakan ketidakstabilan politik sebagai justifikasi mereka untuk memainkan peran politik mereka, bahkan untuk mengambil-alih kekuasaan politik sipil. Dan apabila militer telah memegang kekuasaan politik tertinggi, niscaya negara tersebut akan menjadi negara otoriter.

Kajian Praktis

Para pemimpin yang demokratis sering mengambil kebijakan yang secara langsung mempengaruhi peran militer. Sepanjang masa transisi yang sulit, usaha-usaha radikal untuk mengurangi kekuasaan dan pengaruh militer mungkin menimbulkan gejolak atau bahkan membalikkan arah demokrasi, karena tindakan seperti ini kelihatannya memusuhi militer dan memotivasi elite militer untuk melakukan intervensi politik.
Di antara tindakan itu adalah mengurangi anggaran militer secara drastis, membatasi otonomi militer dalam kegiatan ekonomi, campur tangan sipil dalam bidang profesional militer, mengganti elite militer yang duduk di posisi sipil, memaksa mundur para jenderal yang telah lama mengabdi, dan penuntutan hukuman atas pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan kegiatan kriminal yang melibatkan personel militer. Di samping itu rekruitmen pejabat-pejabat di pemerintahan sipil yang tidak dapat diterima oleh militer atau adopsi kebijakan yang oleh militer dirasa akan memperlemah kemampuan mereka, dan juga dapat menimbulkan kemarahan perwira militer terhadap pemerintahan sipil.

Penutup
Peran militer dalam kancah politik di negara-negara berkembang masih sangat kuat. Pemerintahan sipil yang tidak dapat menstabilkan keadaan sosial, politik, dan ekonomi merupakan faktor pendukung bagi kembalinya militer dalam arena politik. Profesionalisme militer yang diharapkan akan terwujud, banyak mengalami benturan-benturan yang diakibatkan oleh kekurangsiapan kelompok sipil dalam menjalankan roda pemerintahan.
Profesionalisme militer haruslah didukung oleh semua pihak. Penguasa negara harus memfasilitasi dan memberikan anggaran yang cukup bagi terlaksananya proses profesionalisasi tersebut.


Kepustakaan

Davide, Hilario et.al., The Final Report of The Fact Finding Commision, Makati, Philipines: Bookmark Publishing, 1990.

Diamond, Larry and Marc F. Plattner (ed.), Civil Military Relations and Democracy, terj. T.W. Busi Santoso, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Finer, S.E., The Man on Horseback: The Role of Military in Politics, New York:

Frederick A. Praeger, 1962.

Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Djakarta: Pandji Masjarakat, 1960

Huntington, P.Samuel, Political Order in Changing Societies, New Heaven: Yale University Press, 1968.

__________________, The Soldier and the State: Theory and Politics of Civil-Military Relations, Cambridge: Harvard University Press, 1957.

Lasswell, Harold “ The Garrison State Hypothesis Today “, dalam Samuel P.

Huntington, ed. , Changing Patterns of Military Politics, New York: The Free Press of Glencoe, Inc., 1962.

Lovell, P. John. and C.I. Eugene Kim, The Military and Political Change in Asia, Spring Summer: Pacific Affairs, 1967.

Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, terj. Sahat Simamora, Jakarta: Rajawali, 1984.

Vagts, Alfred, A History of Militarism; Civilian and Military, New York: The Free Press, 1959.

Webster’s Third International Dictionary, Springfield, Massachussetss: G. & C. Merriam Company, 1966.
Read More......

Gagalnya Islam Politik di Indonesia

Salah satu kajian klasik tetapi menarik untuk diperdebatkan adalah persoalan mengenai hubungan antara Islam dan politik . Meski keduanya merupakan dua entitas yang berbeda namun secara historis memiliki keterikatan yang inheren: yang satu sakral dan yang lainnya profan namun tetap memiliki daya sinkretis akibat relasi kesejarahan yang panjang. Hal mana juga disebabkan oleh adanya fakta sejarah bahwa Nabi saw setelah wafatnya tidak pernah memberikan satu bentuk yang pasti tentang negara Islam serta unsur-unsur atau lembaga-lembaga yang menopang di bawahnya. Oleh karena itu, umat Islam mempunyai kebebasan untuk membentuk dan membangun “gaya” politiknya sendiri.



Menarik untuk diamati, bahwa sebenarnya persoalan yang pertama kali timbul sejak Nabi saw wafat adalah justru persoalan politik, dimana segera terjadi krisis kepemimpinan sehingga menuntut para sahabat Nabi saw untuk segera mengangkat seseorang yang dapat menggantikan posisi Nabi saw sebagai pemimpin keagamaan dan politik. Dari sini jelas, bahwa tidak adanya petunjuk dari Nabi saw tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya merupakan fakta historis bahwa persoalan politik menjadi sepenuhnya diserahkan kepada umat. Persoalan ini kemudian menjadi sangat besar dan bahkan menjadi ajang pertumpahan darah pada masa-masa berikutnya hanya karena masalah perebutan kekuasaan politik.
Sampai pada tahap ini kemudian muncul berbagai madzhab pemikiran dalam politik Islam yang hingga saat ini masih berkembang kedalam tiga kecenderungan besar yang memandang hubungan Islam dan politik atau dengan kata lain agama dan negara. Menurut Bahtiar Effendy, kecenderungan tersebut dapat dipetakan menjadi, 1) Islam dan politik tidak bisa dipisahkan; 2) Islam dan politik itu bisa dipisahkan, dan; 3) Islam dan politik memiliki keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik tetapi substansialistik.(Oliver Roy: 2002)
Ketiga kecenderungan pemikiran ini dapat dikatakan hampir mewarnai terhadap apa yang disebut dengan gerakan Islam politik atau gerakan politik Islam di hampir negara-negara yang mayoritasnya adalah berpenduduk Muslim. Tak terkecuali di Indonesia, model dari ketiga kecenderungan pemikiran ini juga dapat dilihat secara nyata baik semenjak kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Di tahun 1940-an kita bisa melihat bahwa perdebatan mengenai bentuk negara antara kelompok Islam dan Nasionalis tidak pernah mengalami kesepakatan yang pasti dan gagal mencapai kompromi. Satu-satunya hasil kompromi antara dua kelompok ini-pun (Islam-Nasionalis) yang tertuang dalam “Piagam Jakarta” ternyata “digugat” kembali sehari setelah kemerdekaan yang hasilnya adalah keterpaksaan kalangan Islam untuk menerima kesepakatan merubah “tujuh kata” yang terdapat dalam Piagam Jakarta. (A. Syafi'i Ma'arif: 1996)
Hasil kesepakatan tersebut telah menghasilkan satu bentuk negara yang memang unik, sebagaimana dikatakan oleh Munawir Sadzali, “Indonesia bukan negara agama (theocratic state), tetapi juga bukan negara sekuler” , suatu pernyataan yang menurut Djohan Effendi telah membingungkan Ismail al-Farouqi salah seorang intelektual muslim asal Mesir. Hasil penerimaan kompromi yang “setengah hati” ini bagi umat Islam harus terus diperjuangkan sehingga tak heran bahwa kemunculan berbagai gerakan baru “Islam politik” di Indonesia merupakan kelanjutan dari mata rantai historis gagalnya penerimaan Piagam Jakarta pada masa-masa awal kemerdekaan. Kasus yang paling jelas dalam hal ini adalah fenomena gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang inti perjuangannya adalah menghidupkan kembali “semangat Piagam Jakarta”.
Sejarah Islam politik di Indonesia memang sangat memiliki arti penting bagi tumbuhkembangnya berbagai gerakan Islam baik yang bersifat legal-formalistik ataupun substantifistik. Keduanya merupakan akibat secara langsung dari polarisasi madzhab pemikiran Islam yang sudah ada sejak awalnya. Umumnya, bagi kalangan Islam yang bercita-cita menjadikan Islam sebagai agama negara mengidealkan sebuah negara Islam yang dalam pengertian “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafhur” (Negara yang damai yang diridhai Tuhan), kelompok ini masuk kedalam kategori legal-formal. Sedangkan sebagian lagi lebih mengorientasikan Islam sebagai sebuah ajaran yang rahmatan lil alamin sehingga cita-cita politik Islam tidak ditransformasikan dalam bentuk formal seperti negara tetapi lebih menekankan terhadap bagaimana ajaran-ajaran Islam yang universal itu bersemayam dalam hati kaum muslimin. Titik tekan mereka lebih mengarah kepada “li izza al-Islam wa al-Muslimun” (untuk kemajuan umat Islam secara keseluruhan). Maka jika kita tarik kedalam wacana besar pemikiran politik Islam, dapat disederhanakan kedalam dua bentuk kecenderungan besar: formalistik dan substantifistik.
Pada tingkatan praksis politik, aktivitas politik Islam—terutama di Indonesia—tampaknya juga disamping dilematis, ia juga selalu mencari aktualisasi diri bahkan tak jarang mengalami kegagalan-kegagalan. Hal inilah yang kemudian menuntut kelompok Islam politik harus merumuskan strategi perjuangannya secara lebih tepat jika ia ingin lebih eksis vis a vis negara. Din Syamsuddin memandang aktivitas politik Islam selama ini kedalam tiga strategi kecenderungan, pertama, strategi akomodatif-justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealitas Islam, dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan garis keras umat Islam. Beberapa aktivis politik Islam yang berasal dari NU dan Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya dapat kita masukkan dalam kategori ini. Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatan sendiri. Ini memiliki konsekuensi kehilangan faktor pendukung, yaitu kekuatan negara itu sendiri yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Strategi seperti ini sering menjadi pola perjuangan kelompok Islam garis keras yang umumnya non kompromis dengan segala sesuatu yang berbau sekularistik. Beberapa aktivis FPI, Lasykar Jihad, Islam Jama’ah, Hizbut Tahrir, dan semacamnya bisa masuk dalam kategori ini. Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, namun tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam satu perjuangan dari dalam (struggle from within). Namun strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektivitas perjuangannya akan dipertanyakan. Strategi model ini biasanya banyak dilakukan oleh beberapa kalangan cendekiawan muslim yang sekaligus memiliki basis massa yang kuat dari organisasi dimana ia berasal. Ia bukan aktivis politik, namun memiliki posisi tawar yang kuat terhadap negara. Beberapa aktor intelektual Muslim yang juga sekaligus memiliki basis massa yang kuat dari organisasi yang dipimpinnya, seperti K.H. Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan lainnya.
Jika kita melihat lebih dekat kondisi Islam di Indonesia, nampaknya kekuatan-kekuatan politik Islam—saya sebenarnya tidak terlalu setuju dengan membuat dikotomi antara Islam politik dan Politik Islam—ini selalu menemui “jalan buntu” ketika mencoba berhadapan vis a vis negara. Perdebatan Konstituante pada masa awal kemerdekaan antar kelompok Islam-Nasionalis yang menghasilkan kompromi “setengah hati” bagi Islam sudah menjadi prediksi bahwa cita-cita negara Islam di Indonesia akan selalu kandas di tengah jalan. Apalagi jika kita melihat perolehan suara pada Pemilu 1955—dan Pemilu-Pemilu berikutnya—membuktikan bahwa Islam tidak pernah mencapai suara mayoritas, padahal umat Islam merupakan penduduk terbanyak di Indonesia.
Apalagi setelah Orde Baru berkuasa, Islam dalam bentuk “gerakan politik” senantiasa dicurigai, dipantau bahkan jika perlu dimusnahkan karena berbagai gerakan politik yang mengacu kepada ideologi tertentu—seperti Islam dan Komunisme—dianggap hanya akan menimbulkan kekacauan dan pemberontakan seperti yang pernah terjadi pada tahun 50-an. Dalam bahasa Orde Baru, kekuatan Islam politik yang mencoba melawan arus dikatagorikan sebagai “ekstrim kanan”. Oleh karena itu, Islam pada masa Orde Baru dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan politik yang berarti bahkan selalu terpinggirkan secara politik.
Kemunculan kembali kekuatan baru gerakan Islam politik nampaknya bisa kita amati pasca lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan. Partisipasi politik yang telah dibuka lebar membuat para tokoh muslim beramai-ramai membuat partai baik yang menggunakan simbolisasi Islam atau yang hanya berbasis Islam. Akhirnya, Islam kemudian hanya digunakan sebagai simbol yang “layak jual” pada setiap ajang Pemilu akan dilangsungkan. Islam hanya menjadi “alat” bagi kendaraan politik tertentu untuk dijadikan jalan meraih kekuasaan. Meski banyak diantara partai yang tidak latah terhadap simbolisasi Islam, namun tetap saja tidak pernah menjadi single majority meskipun semua partai yang berbasis massa Islam berkoalisi. Satu-satunya partai Islam yang tidak menggunakan simbol Islam tetapi memiliki massa cukup besar adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun partai ini-pun “besar” karena merupakan kepanjangan tangan dari organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Jika Indonesia merupakan contoh dari kondisi Islam politik yang selalu mengalami kegagalan, maka di Iran justru menambah semakin uniknya hubungan Islam dan politik. Sejak digulirkannya revolusi Iran 1979, hampir semua institusi pada tingkat negara dicoba untuk dimodernisasi dengan menghindari sebisa mungkin formalisasi Islam. Pada tingkat negara, urusan-urusan politik diserahkan kepada presiden namun kekuasaan tertinggi terletak ditangan para ulama. Kekuasaan “tak-terbantahkan” para ulama Iran ini dikenal dengan konsep wilayat al-faqih yang telah dielaborasi oleh Khomeini dengan menempatkan ulama “terpilih”(ayatullah) secara struktural berada diatas semua institusi kenegaraan.
Pada tingkat tertentu, Iran merupakan sebuah negara Islam yang mencoba memodernisasi diri dari dalam dengan memadukan konsep-konsep Islam dengan tradisi-tradisi Barat. Hal ini dilakukan hasil aliansi antara para ulama tradisional dan para intelektual muda Islam bersama-sama merubah “wajah Islam” di Iran melalui suatu gerakan revolusi. Hasilnya, Iran telah menemukan ruang politiknya tanpa harus dibarengi dengan kata (petunjuk) ilahi, atau dalam bahasa yang lebih sederhana telah terjadi sekularisasi dalam segala bidang di Iran.
Sekularisasi Iran tak terlepas dari peran Syi’isme yang sejak awal telah banyak bersentuhan dengan ideologi-ideologi Barat. Para ulama Syi’ah nampaknya sudah terbiasa mensitesakan pemikiran-pemikiran Barat dan Islam, mereka pada umumnya sangat terbuka terhadap dunia Barat berbeda dengan Islam Sunni yang tampaknya kurang terbuka terhadap dunia Barat. Maka wajar, jika kemudian revolusi Islam sejati hanya terjadi di Iran yang nota bene mayoritas Syi’ah dan tidak menutup kemungkinan bahwa para ulama Syi’ah juga terpengaruh oleh karya-karya Marx yang selalu menghembuskan angin revolusi untuk perubahan umat manusia.
Salah satu ekses dari wilayat al-faqih yang cukup membingungkan adalah peran dan fungsi syari’at dalam konstitusi negara. Syari’at dipandang sebagai suatu subordinasi dari konstitusi negara. Menurut versi Iran, konstitusilah yang menentukan syari’at dan bukan sebaliknya. Dengan mengembangkan suatu pemikiran bahwa hukum posistif dapat menjadi “islami” karena kenyataannya negara ini sudah Islami merupakan pertanda bahwa syari’at akan berakhir sebagai satu-satunya—sebagaimana yang dicitakan Islam politik—landasan norma yuridis. Inilah yang mendorong Oliever Roy beranggapan bahwa Iran merupakan model dari negara “sekular” dimana negara menjadi sumber hukum dan sekaligus sumber legitimasinya sendiri.
Berdasar keterangan diatas, saya beranggapan bahwa Islam politik yang umumnya berjuang demi pemberlakuan syari’at dalam konstitusi negara telah gagal melakukan misinya di Iran. Syari’at Islam di Iran hanya mendapat tempat pada pos-pos yang tidak penting dalam konstitusi negara. Beberapa hukum syari’at yang disetujui masuk dalam konstitusi itupun hanya bersifat simbolis, seperti qishas, hudud, dan diyat yang tetap berada pada pengaruh parlemen untuk mengundangkannya. Hal ini berarti para hakim harus mengacu pada hukum yang diundangkan itu tidak langsung pada syari’at.
Revolusi yang terjadi di Iran ternyata hanya berhasil pada satu sisi, yakni mendorong sekularisasi lebih tinggi ketimbang penyatuan atas tradisionalisme Islam dan modernisme Barat. Ulama—sejak masa Khomeini—telah diturunkan posisinya pada level negara sehingga para ulama-lah sebenarnya yang memegang kekuasaan politik atas negara, meskipun posisi ulama terpisah dari negara. Para ulama telah “disekulerkan” oleh kekuasaan Khomeini terutama para ulama muda (hujjatul Islam) yang direkrut oleh Khomeini karena mempunyai latar belakang pendidikan Barat yang cukup kuat. Dengan menempatkannya pada puncak kekuasaan, para ulama ini memiliki fatwa yang berlaku meski mereka sudah meninggal.
Penyatuan kembali ulama-negara terjadi setelah meninggalnya Khomeini pada 1989. Tak hanya itu, ide-ide revolusioner yang pernah hidup pada masa Khomeini sedikit-demi sedikit kehilangan relevansinya dan menuntut para tokoh Syi’ah Iran merestrukturisasi peran dan fungsi ulama serta negara. Hal ini dilakukan karena mereka tidak mungkin untuk mengembalikan keadaan kepada masa sebelum Khomeini. Islam politik di Iran pasca Khomeini telah gagal merekonstruksi dirinya ditengah arus sekularisasi yang puncaknya terjadi pada pemerintahan sekarang ini.
Kenyataan-kenyataan di atas, nampaknya bisa kita tarik suatu kesimpulan bahwa Islam politik di beberapa negara muslim dalam tataran praksis maupun ideologis mengalami kegagalan-kegagalan. Kegagalan-kegagalan ini diakibatkan oleh adanya pola orientasi Islam politik terhadap situasi kesejarahan pada masa Nabi dan Empat Sahabatnya tanpa memberikan satu alternatif sebuah bentuk masyarakat baru. Obsesi utama dari gerakan Islam politik untuk memberlakukan syari’at Islam pada tingkat konstitusi negara tidak disertai dengan semangat “pembaruan” unsur-unsur syari’at agar dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Mereka pada umumnya masih terkondisikan oleh nostalgia kejayaan Islam pada masa-masa abad pertengahan. Kalau tidak, Islam politik tampak kehilangan arahnya ketika ia mencoba membuat satu alternatif yang benar-benar baru dan benar-benar “modern”. Pada tahap ini, Islam politik justru terjebak pada sekularisasi yang tanpa pilah-pilah yang ujung-ujungnya adalah wacana Islam menjadi tereduksi kedalam tingkat ritualitas yang hanya menjadi urusan pribadi seorang muslim.
Keadaan ini, menurut hemat saya belum dapat dicarikan solusinya sebelum terjadi sebuah “lompatan” dalam sejarah Islam melalui penyadaran kaum muslim terhadap kenyataan-kenyataan bahwa mereka sedang “tertinggal” oleh Barat. “Kesadaran diri” umat Islam menjadi sangat penting bagi mengejar ketertinggalannya dari Barat. Bagi saya, aspek politik hanyalah bersifat komplementer dalam upaya melepaskan dunia Islam dari hegemoni Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana umat Islam mengartikulasikan pemahaman politiknya pada realitas sosial tanpa terjebak oleh mutlak-mutlakan seperti dalam keharusan menegakkan syari’at secara murni atau sekularisasi yang kebablasan. Bagaimana keduanya—Islam dan Politik—berjalan beriring saling mengisi tanpa harus memisahkan atau menyatukan keduanya dalam kerangka pemikiran Islam yang orisinal.

Read More......

Kritik Atas Konsep Modernisasi

Modernisasi sejauh ini dipahami sebagai proses peralihan dari suatu masyarakat berkembang ke arah masyarakat yang lebih maju. Proses modernisasi memiliki pengertian tradisi dan modern sebagai awal dan akhir dari sebuah jalan yang harus ditapak oleh masyarakat negara berkembang. Nilai-nilai, prilaku, dan cara berfikir tradisional dipaksa untuk didinamisasi dan dimodernisasi oleh para teoritikus modernisasi yang pada awalnya dibayangkan sebagai suatu yang uniform (untuk semua negara berkembang sama) dan unilini (berjalan dalam garis lurus dalam gambaran tujuan masyarakat). Dalam prosesnya, modernisasi menganggap bahwa segala cara dan prilaku yang dianggap tradisional dalam suatu masyarakat dipahami sebagai sesuatu yang tidak modern dan modernitas masyarakat-masyarakat negara industri Barat menjadi gambar panutan pembangunan.




Modernisasi sejauh ini dipahami sebagai proses peralihan dari suatu masyarakat berkembang ke arah masyarakat yang lebih maju. Proses modernisasi memiliki pengertian tradisi dan modern sebagai awal dan akhir dari sebuah jalan yang harus ditapak oleh masyarakat negara berkembang. Nilai-nilai, prilaku, dan cara berfikir tradisional dipaksa untuk didinamisasi dan dimodernisasi oleh para teoritikus modernisasi yang pada awalnya dibayangkan sebagai suatu yang uniform (untuk semua negara berkembang sama) dan unilini (berjalan dalam garis lurus dalam gambaran tujuan masyarakat). Dalam prosesnya, modernisasi menganggap bahwa segala cara dan prilaku yang dianggap tradisional dalam suatu masyarakat dipahami sebagai sesuatu yang tidak modern dan modernitas masyarakat-masyarakat negara industri Barat menjadi gambar panutan pembangunan.
Gambaran secara umum terhadap keterbelakangan suatu masyarakat hanya dilihat oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terjadi didalam negara yang bersangkutan oleh teori modernisasi sebagai penghambat pembangunan. Seperti halnya kurangnya pendidikan pada sebagian besar masyarakatnya, adanya budaya lokal yang kurang menghargai nilai-nilai material dan sebagainya. Padahal, dalam suatu masyarakat atau negara terdapat juga faktor-faktor external penghambat pembangunan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Teori modernisasi cenderung menggeneralisasikan seluruh konsepnya dan dapat diterapkan terhadap semua konteks masyarakat dimanapun dan kapanpun. Semua masyarakat tradisional yang ditandai oleh cara berpikir yang irrasional serta cara kerja yang tidak efisien adalah “terbelakang” begitupun sebaliknya suatu masyarakat modern bercirikan masyarakat yang pemikirannya rasional dan cara kerja yang efisien, dan seterusnya. Dengan demikian, pemusatan pembangunan akan selalu berorientasi Barat yang notabene sudah maju dalam bidang industri. Hal inilah yang mengakibatkan strategi penerapan modernisasi yang “universal” belum tentu mampu merubah laju masyarakat terbelakang sesuai realitas.

Read More......