Wednesday, January 28, 2009

Peran Militer dalam Dunia Politik

Kajian tentang militer dalam ranah politik memang sangat menarik untuk dibahas. Militer mempunyai peranan yang sangat signifikan bagi pembangunan politik suatu bangsa. Bisa dikatakan bahwa salah satu cara untuk memutuskan dan menentukan apakah pembangunan politik suatu negara itu berjalan baik atau tidak, dapat dilihat dari peran dan sepak terjang militer dalam kehidupan politik negara tersebut.



Menurut Huntington, dewasa ini telah terjadi banyak perubahan dalam tubuh militer di beberapa negara Asia, Amerika dan Eropa. Kecenderungan terjadinya perubahan bentuk korps perwira militer. Dari bentuk penakluk (warrior) menjadi kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini ditandai oleh perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi“ menjadi “tentara karena panggilan suci“ (abdi negara).
Huntington menyebutkan beberapa ciri pokok terjadinya profesionalisme militer tersebut ke dalam beberapa hal, yaitu:
Keahlian
Suatu kekuatan militer membutuhkan keterampilan dan pengetahuan luas dan mendalam agar mampu mengorganisir, merencanakan, dan mengarahkan aktifitasnya, baik dalam keadaan perang maupun damai. Keahlian tersebut hanya mungkin diperoleh melalui pendidikan, latihan dan pengalaman. Inilah yang membedakan militer profesional dengan militer “amatir“ sebelumnya.
Tidak setiap orang bisa untuk menjadi perwira militer walaupun tingkat intelektualitas dan kualitas kepemimpinannya tinggi. Tingkat profesionalisasi militer yang semakin tinggi menyebabkan seorang perwira harus menghabiskan sepertiga dari kehidupan profesionalnya di bangku pendidikan. Profesionalisasi inilah yang menyebabkan seorang perwira harus siap untuk mengikuti pendidikan untuk setiap promosi kepangkatannya.
Tanggung jawab sosial khusus
Di samping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, seorang perwira militer mempunyai tanggung jawab pokok kepada negara. Konsep “ obligasi sosial “ bagi perwira jauh lebih tinggi dari kelompok profesi lainnya. Hal ini dikarenakan tanggung jawab seorang perwira militer adalah kepada negara.
Karakter Korporasi (corporate character) para perwira
Karakter tersebut melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Berbeda dengan kelompok profesi lainnya, korps perwira militer merupakan suatu “ birokrasi profesional “, karena anggota-anggotanya mengabdi pada birokrasi negara. Tetapi sebagai suatu satuan dalam birokrasi negara, korps perwira juga merupakan suatu unit sosial yang otonom. Diantara sekian banyak kelompok profesi, hanya korps perwira militer yang mempunyai kemandirian dalam birokrasi, lembaga pendidikan, jurnal, asosiasi, dan kebiasaan serta tradisi.
Kepentingan korporasi militer profesional mengharuskan adanya batasan tegas bagi orang-orang yang tidak mengikuti jenjang pendidikan khusus untuk masuk dalam korps perwira profesional. Karenanya, tidak mudah bagi tamtama atau bintara untuk naik pada jenjang perwira dalam keadaan normal. Menurut Huntington, tamtama dan bintara adalah spesialis dalam “ penggunaan kekerasan “ di lapangan. Hal ini berbeda dengan para perwira yang hanya bertugas di balik layar ( bukan pengelola kekerasan ).
Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington sebagai “the military mind“ yang menjadi dasar bagi hubungan militer dengan negara. Etik militer menekankan sifat permanen, irasionalitas, dan kelemahan manusia serta supremasi masyarakat terhadap individu. Etik ini juga mementingkan ketertiban, hierarki dan pembagian tugas serta pengakuan atas “Negara Kebangsaan“ (Nation State) sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Inti dari the military mind adalah suatu ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer tidak ada kemuliaan yang tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil.
Berdasarkan pikiran tersebut, Huntington menegaskan bahwa kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakekatnya menyalahi etik militer profesionalnya. Intervensi militer dalam politik merupakan tanda adanya pembusukan politik (political decay).
Militer Indonesia
Berubahnya nama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) merupakan salah satu tonggak bersejarah dalam menjadikan militer Indonesia menjadi militer profesional. Pemisahan institusi TNI dengan POLRI, dan beberapa usaha mereformasi serta mereposisi TNI dalam hubungannya dengan sipil, semakin memperkuat adanya niat yang tulus dan sungguh-sungguh dari kalangan TNI guna mewujudkan TNI yang profesional.
Niat dan usaha TNI ini, tentunya tidak dapat mewujudkan hasil yang maksimal, tanpa dukungan dari semua komponen bangsa. Usaha kalangan MPR/DPR, terutama ke-legowo-an Fraksi TNI/POLRI untuk menyetujui dan menerima dihapuskannya Fraksi TNI/POLRI dalam keanggotaan MPR/DPR mulai tahun 2004, patutlah diacungi jempol. Keputusan keluarnya TNI/POLRI dari MPR/DPR mulai 2004 ini, merupakan langkah maju yang positif bagi hubungan sipil-militer di Indonesia.
Sokongan yang penuh dari semua pihak, diharapkan akan menciptakan profesionalisme TNI yang benar-benar nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan diharapkan, dengannya, “the military mind” TNI akan dapat terwujud dan terjaga dengan baik.
Akan tetapi di beberapa negara dunia ketiga masih sangat kentara intervensi militer dalam kehidupan politik. Militer selain menjalankan fungsi militernya, juga memainkan peranannya dalam urusan politik (yang sebenarnya merupakan tugas dan fungsi dari sipil atau non militer).
Fakta di atas terjadi karena adanya beberapa faktor. John P. Lovell dan C.I. Eugene Kim dengan sangat gamblang menjelaskan beberapa faktor yang mendorong militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik dalam suatu negara, yaitu:
•Rangkaian sebab yang menyangkut terjadinya ketidakstabilan sistem politik. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan dalam kehidupan politik. Sistem politik yang peka inilah yang paling serius mengakibatkan timbulnya hal-hal yang mendiskreditkan pemerintahan sipil. Termasuk didalamnya ada tidaknya pola-pola legitimasi yang secara umum diterima dalam masyarakat yang menyangkut jalannya lembaga-lembaga sipil dan pemerintahan.
•Rangkaian sebab yang berhubungan dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik. Bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan. Yang menarik dalam hal ini adalah bahwa dalam beberapa hal dominasi militer di dalam kancah politik justru “diundang” atau dipermudah oleh golongan sipil.
•Rangkaian sebab yang berkaitan dengan political perspectives kaum militer. Yang paling menonjol diantara beberapa perspektif politik militer adalah yang berhubungan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat, dan juga yang berhubungan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan kaum sipil dan terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Apabila beberapa rangkaian sebab di atas muncul dalam suatu negara, niscaya militer akan dengan cepat untuk masuk dalam arena poltik. Militer akan mempergunakan ketidakstabilan politik sebagai justifikasi mereka untuk memainkan peran politik mereka, bahkan untuk mengambil-alih kekuasaan politik sipil. Dan apabila militer telah memegang kekuasaan politik tertinggi, niscaya negara tersebut akan menjadi negara otoriter.

Kajian Praktis

Para pemimpin yang demokratis sering mengambil kebijakan yang secara langsung mempengaruhi peran militer. Sepanjang masa transisi yang sulit, usaha-usaha radikal untuk mengurangi kekuasaan dan pengaruh militer mungkin menimbulkan gejolak atau bahkan membalikkan arah demokrasi, karena tindakan seperti ini kelihatannya memusuhi militer dan memotivasi elite militer untuk melakukan intervensi politik.
Di antara tindakan itu adalah mengurangi anggaran militer secara drastis, membatasi otonomi militer dalam kegiatan ekonomi, campur tangan sipil dalam bidang profesional militer, mengganti elite militer yang duduk di posisi sipil, memaksa mundur para jenderal yang telah lama mengabdi, dan penuntutan hukuman atas pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan kegiatan kriminal yang melibatkan personel militer. Di samping itu rekruitmen pejabat-pejabat di pemerintahan sipil yang tidak dapat diterima oleh militer atau adopsi kebijakan yang oleh militer dirasa akan memperlemah kemampuan mereka, dan juga dapat menimbulkan kemarahan perwira militer terhadap pemerintahan sipil.

Penutup
Peran militer dalam kancah politik di negara-negara berkembang masih sangat kuat. Pemerintahan sipil yang tidak dapat menstabilkan keadaan sosial, politik, dan ekonomi merupakan faktor pendukung bagi kembalinya militer dalam arena politik. Profesionalisme militer yang diharapkan akan terwujud, banyak mengalami benturan-benturan yang diakibatkan oleh kekurangsiapan kelompok sipil dalam menjalankan roda pemerintahan.
Profesionalisme militer haruslah didukung oleh semua pihak. Penguasa negara harus memfasilitasi dan memberikan anggaran yang cukup bagi terlaksananya proses profesionalisasi tersebut.


Kepustakaan

Davide, Hilario et.al., The Final Report of The Fact Finding Commision, Makati, Philipines: Bookmark Publishing, 1990.

Diamond, Larry and Marc F. Plattner (ed.), Civil Military Relations and Democracy, terj. T.W. Busi Santoso, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Finer, S.E., The Man on Horseback: The Role of Military in Politics, New York:

Frederick A. Praeger, 1962.

Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Djakarta: Pandji Masjarakat, 1960

Huntington, P.Samuel, Political Order in Changing Societies, New Heaven: Yale University Press, 1968.

__________________, The Soldier and the State: Theory and Politics of Civil-Military Relations, Cambridge: Harvard University Press, 1957.

Lasswell, Harold “ The Garrison State Hypothesis Today “, dalam Samuel P.

Huntington, ed. , Changing Patterns of Military Politics, New York: The Free Press of Glencoe, Inc., 1962.

Lovell, P. John. and C.I. Eugene Kim, The Military and Political Change in Asia, Spring Summer: Pacific Affairs, 1967.

Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, terj. Sahat Simamora, Jakarta: Rajawali, 1984.

Vagts, Alfred, A History of Militarism; Civilian and Military, New York: The Free Press, 1959.

Webster’s Third International Dictionary, Springfield, Massachussetss: G. & C. Merriam Company, 1966.

No comments:

Post a Comment