Wednesday, January 28, 2009

Peran Militer dalam Dunia Politik

Kajian tentang militer dalam ranah politik memang sangat menarik untuk dibahas. Militer mempunyai peranan yang sangat signifikan bagi pembangunan politik suatu bangsa. Bisa dikatakan bahwa salah satu cara untuk memutuskan dan menentukan apakah pembangunan politik suatu negara itu berjalan baik atau tidak, dapat dilihat dari peran dan sepak terjang militer dalam kehidupan politik negara tersebut.



Menurut Huntington, dewasa ini telah terjadi banyak perubahan dalam tubuh militer di beberapa negara Asia, Amerika dan Eropa. Kecenderungan terjadinya perubahan bentuk korps perwira militer. Dari bentuk penakluk (warrior) menjadi kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini ditandai oleh perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi“ menjadi “tentara karena panggilan suci“ (abdi negara).
Huntington menyebutkan beberapa ciri pokok terjadinya profesionalisme militer tersebut ke dalam beberapa hal, yaitu:
Keahlian
Suatu kekuatan militer membutuhkan keterampilan dan pengetahuan luas dan mendalam agar mampu mengorganisir, merencanakan, dan mengarahkan aktifitasnya, baik dalam keadaan perang maupun damai. Keahlian tersebut hanya mungkin diperoleh melalui pendidikan, latihan dan pengalaman. Inilah yang membedakan militer profesional dengan militer “amatir“ sebelumnya.
Tidak setiap orang bisa untuk menjadi perwira militer walaupun tingkat intelektualitas dan kualitas kepemimpinannya tinggi. Tingkat profesionalisasi militer yang semakin tinggi menyebabkan seorang perwira harus menghabiskan sepertiga dari kehidupan profesionalnya di bangku pendidikan. Profesionalisasi inilah yang menyebabkan seorang perwira harus siap untuk mengikuti pendidikan untuk setiap promosi kepangkatannya.
Tanggung jawab sosial khusus
Di samping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, seorang perwira militer mempunyai tanggung jawab pokok kepada negara. Konsep “ obligasi sosial “ bagi perwira jauh lebih tinggi dari kelompok profesi lainnya. Hal ini dikarenakan tanggung jawab seorang perwira militer adalah kepada negara.
Karakter Korporasi (corporate character) para perwira
Karakter tersebut melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Berbeda dengan kelompok profesi lainnya, korps perwira militer merupakan suatu “ birokrasi profesional “, karena anggota-anggotanya mengabdi pada birokrasi negara. Tetapi sebagai suatu satuan dalam birokrasi negara, korps perwira juga merupakan suatu unit sosial yang otonom. Diantara sekian banyak kelompok profesi, hanya korps perwira militer yang mempunyai kemandirian dalam birokrasi, lembaga pendidikan, jurnal, asosiasi, dan kebiasaan serta tradisi.
Kepentingan korporasi militer profesional mengharuskan adanya batasan tegas bagi orang-orang yang tidak mengikuti jenjang pendidikan khusus untuk masuk dalam korps perwira profesional. Karenanya, tidak mudah bagi tamtama atau bintara untuk naik pada jenjang perwira dalam keadaan normal. Menurut Huntington, tamtama dan bintara adalah spesialis dalam “ penggunaan kekerasan “ di lapangan. Hal ini berbeda dengan para perwira yang hanya bertugas di balik layar ( bukan pengelola kekerasan ).
Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington sebagai “the military mind“ yang menjadi dasar bagi hubungan militer dengan negara. Etik militer menekankan sifat permanen, irasionalitas, dan kelemahan manusia serta supremasi masyarakat terhadap individu. Etik ini juga mementingkan ketertiban, hierarki dan pembagian tugas serta pengakuan atas “Negara Kebangsaan“ (Nation State) sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. Inti dari the military mind adalah suatu ideologi yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer tidak ada kemuliaan yang tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil.
Berdasarkan pikiran tersebut, Huntington menegaskan bahwa kaum militer yang melakukan intervensi politik pada hakekatnya menyalahi etik militer profesionalnya. Intervensi militer dalam politik merupakan tanda adanya pembusukan politik (political decay).
Militer Indonesia
Berubahnya nama ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) merupakan salah satu tonggak bersejarah dalam menjadikan militer Indonesia menjadi militer profesional. Pemisahan institusi TNI dengan POLRI, dan beberapa usaha mereformasi serta mereposisi TNI dalam hubungannya dengan sipil, semakin memperkuat adanya niat yang tulus dan sungguh-sungguh dari kalangan TNI guna mewujudkan TNI yang profesional.
Niat dan usaha TNI ini, tentunya tidak dapat mewujudkan hasil yang maksimal, tanpa dukungan dari semua komponen bangsa. Usaha kalangan MPR/DPR, terutama ke-legowo-an Fraksi TNI/POLRI untuk menyetujui dan menerima dihapuskannya Fraksi TNI/POLRI dalam keanggotaan MPR/DPR mulai tahun 2004, patutlah diacungi jempol. Keputusan keluarnya TNI/POLRI dari MPR/DPR mulai 2004 ini, merupakan langkah maju yang positif bagi hubungan sipil-militer di Indonesia.
Sokongan yang penuh dari semua pihak, diharapkan akan menciptakan profesionalisme TNI yang benar-benar nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan diharapkan, dengannya, “the military mind” TNI akan dapat terwujud dan terjaga dengan baik.
Akan tetapi di beberapa negara dunia ketiga masih sangat kentara intervensi militer dalam kehidupan politik. Militer selain menjalankan fungsi militernya, juga memainkan peranannya dalam urusan politik (yang sebenarnya merupakan tugas dan fungsi dari sipil atau non militer).
Fakta di atas terjadi karena adanya beberapa faktor. John P. Lovell dan C.I. Eugene Kim dengan sangat gamblang menjelaskan beberapa faktor yang mendorong militer secara aktif memasuki arena politik dan memainkan peranan politik dalam suatu negara, yaitu:
•Rangkaian sebab yang menyangkut terjadinya ketidakstabilan sistem politik. Keadaan seperti ini akan menyebabkan terbukanya kesempatan dan peluang yang besar untuk menggunakan kekerasan dalam kehidupan politik. Sistem politik yang peka inilah yang paling serius mengakibatkan timbulnya hal-hal yang mendiskreditkan pemerintahan sipil. Termasuk didalamnya ada tidaknya pola-pola legitimasi yang secara umum diterima dalam masyarakat yang menyangkut jalannya lembaga-lembaga sipil dan pemerintahan.
•Rangkaian sebab yang berhubungan dengan kemampuan golongan militer untuk mempengaruhi atmosfir kehidupan politik. Bahkan untuk memperoleh peranan-peranan politik yang menentukan. Yang menarik dalam hal ini adalah bahwa dalam beberapa hal dominasi militer di dalam kancah politik justru “diundang” atau dipermudah oleh golongan sipil.
•Rangkaian sebab yang berkaitan dengan political perspectives kaum militer. Yang paling menonjol diantara beberapa perspektif politik militer adalah yang berhubungan dengan peranan dan status mereka dalam masyarakat, dan juga yang berhubungan dengan persepsi mereka terhadap kepemimpinan kaum sipil dan terhadap sistem politik secara keseluruhan.
Apabila beberapa rangkaian sebab di atas muncul dalam suatu negara, niscaya militer akan dengan cepat untuk masuk dalam arena poltik. Militer akan mempergunakan ketidakstabilan politik sebagai justifikasi mereka untuk memainkan peran politik mereka, bahkan untuk mengambil-alih kekuasaan politik sipil. Dan apabila militer telah memegang kekuasaan politik tertinggi, niscaya negara tersebut akan menjadi negara otoriter.

Kajian Praktis

Para pemimpin yang demokratis sering mengambil kebijakan yang secara langsung mempengaruhi peran militer. Sepanjang masa transisi yang sulit, usaha-usaha radikal untuk mengurangi kekuasaan dan pengaruh militer mungkin menimbulkan gejolak atau bahkan membalikkan arah demokrasi, karena tindakan seperti ini kelihatannya memusuhi militer dan memotivasi elite militer untuk melakukan intervensi politik.
Di antara tindakan itu adalah mengurangi anggaran militer secara drastis, membatasi otonomi militer dalam kegiatan ekonomi, campur tangan sipil dalam bidang profesional militer, mengganti elite militer yang duduk di posisi sipil, memaksa mundur para jenderal yang telah lama mengabdi, dan penuntutan hukuman atas pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) dan kegiatan kriminal yang melibatkan personel militer. Di samping itu rekruitmen pejabat-pejabat di pemerintahan sipil yang tidak dapat diterima oleh militer atau adopsi kebijakan yang oleh militer dirasa akan memperlemah kemampuan mereka, dan juga dapat menimbulkan kemarahan perwira militer terhadap pemerintahan sipil.

Penutup
Peran militer dalam kancah politik di negara-negara berkembang masih sangat kuat. Pemerintahan sipil yang tidak dapat menstabilkan keadaan sosial, politik, dan ekonomi merupakan faktor pendukung bagi kembalinya militer dalam arena politik. Profesionalisme militer yang diharapkan akan terwujud, banyak mengalami benturan-benturan yang diakibatkan oleh kekurangsiapan kelompok sipil dalam menjalankan roda pemerintahan.
Profesionalisme militer haruslah didukung oleh semua pihak. Penguasa negara harus memfasilitasi dan memberikan anggaran yang cukup bagi terlaksananya proses profesionalisasi tersebut.


Kepustakaan

Davide, Hilario et.al., The Final Report of The Fact Finding Commision, Makati, Philipines: Bookmark Publishing, 1990.

Diamond, Larry and Marc F. Plattner (ed.), Civil Military Relations and Democracy, terj. T.W. Busi Santoso, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Finer, S.E., The Man on Horseback: The Role of Military in Politics, New York:

Frederick A. Praeger, 1962.

Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Djakarta: Pandji Masjarakat, 1960

Huntington, P.Samuel, Political Order in Changing Societies, New Heaven: Yale University Press, 1968.

__________________, The Soldier and the State: Theory and Politics of Civil-Military Relations, Cambridge: Harvard University Press, 1957.

Lasswell, Harold “ The Garrison State Hypothesis Today “, dalam Samuel P.

Huntington, ed. , Changing Patterns of Military Politics, New York: The Free Press of Glencoe, Inc., 1962.

Lovell, P. John. and C.I. Eugene Kim, The Military and Political Change in Asia, Spring Summer: Pacific Affairs, 1967.

Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, terj. Sahat Simamora, Jakarta: Rajawali, 1984.

Vagts, Alfred, A History of Militarism; Civilian and Military, New York: The Free Press, 1959.

Webster’s Third International Dictionary, Springfield, Massachussetss: G. & C. Merriam Company, 1966.
Read More......

Gagalnya Islam Politik di Indonesia

Salah satu kajian klasik tetapi menarik untuk diperdebatkan adalah persoalan mengenai hubungan antara Islam dan politik . Meski keduanya merupakan dua entitas yang berbeda namun secara historis memiliki keterikatan yang inheren: yang satu sakral dan yang lainnya profan namun tetap memiliki daya sinkretis akibat relasi kesejarahan yang panjang. Hal mana juga disebabkan oleh adanya fakta sejarah bahwa Nabi saw setelah wafatnya tidak pernah memberikan satu bentuk yang pasti tentang negara Islam serta unsur-unsur atau lembaga-lembaga yang menopang di bawahnya. Oleh karena itu, umat Islam mempunyai kebebasan untuk membentuk dan membangun “gaya” politiknya sendiri.



Menarik untuk diamati, bahwa sebenarnya persoalan yang pertama kali timbul sejak Nabi saw wafat adalah justru persoalan politik, dimana segera terjadi krisis kepemimpinan sehingga menuntut para sahabat Nabi saw untuk segera mengangkat seseorang yang dapat menggantikan posisi Nabi saw sebagai pemimpin keagamaan dan politik. Dari sini jelas, bahwa tidak adanya petunjuk dari Nabi saw tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya merupakan fakta historis bahwa persoalan politik menjadi sepenuhnya diserahkan kepada umat. Persoalan ini kemudian menjadi sangat besar dan bahkan menjadi ajang pertumpahan darah pada masa-masa berikutnya hanya karena masalah perebutan kekuasaan politik.
Sampai pada tahap ini kemudian muncul berbagai madzhab pemikiran dalam politik Islam yang hingga saat ini masih berkembang kedalam tiga kecenderungan besar yang memandang hubungan Islam dan politik atau dengan kata lain agama dan negara. Menurut Bahtiar Effendy, kecenderungan tersebut dapat dipetakan menjadi, 1) Islam dan politik tidak bisa dipisahkan; 2) Islam dan politik itu bisa dipisahkan, dan; 3) Islam dan politik memiliki keterkaitan yang erat, akan tetapi bentuk hubungannya tidak bersifat legal-formalistik tetapi substansialistik.(Oliver Roy: 2002)
Ketiga kecenderungan pemikiran ini dapat dikatakan hampir mewarnai terhadap apa yang disebut dengan gerakan Islam politik atau gerakan politik Islam di hampir negara-negara yang mayoritasnya adalah berpenduduk Muslim. Tak terkecuali di Indonesia, model dari ketiga kecenderungan pemikiran ini juga dapat dilihat secara nyata baik semenjak kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Di tahun 1940-an kita bisa melihat bahwa perdebatan mengenai bentuk negara antara kelompok Islam dan Nasionalis tidak pernah mengalami kesepakatan yang pasti dan gagal mencapai kompromi. Satu-satunya hasil kompromi antara dua kelompok ini-pun (Islam-Nasionalis) yang tertuang dalam “Piagam Jakarta” ternyata “digugat” kembali sehari setelah kemerdekaan yang hasilnya adalah keterpaksaan kalangan Islam untuk menerima kesepakatan merubah “tujuh kata” yang terdapat dalam Piagam Jakarta. (A. Syafi'i Ma'arif: 1996)
Hasil kesepakatan tersebut telah menghasilkan satu bentuk negara yang memang unik, sebagaimana dikatakan oleh Munawir Sadzali, “Indonesia bukan negara agama (theocratic state), tetapi juga bukan negara sekuler” , suatu pernyataan yang menurut Djohan Effendi telah membingungkan Ismail al-Farouqi salah seorang intelektual muslim asal Mesir. Hasil penerimaan kompromi yang “setengah hati” ini bagi umat Islam harus terus diperjuangkan sehingga tak heran bahwa kemunculan berbagai gerakan baru “Islam politik” di Indonesia merupakan kelanjutan dari mata rantai historis gagalnya penerimaan Piagam Jakarta pada masa-masa awal kemerdekaan. Kasus yang paling jelas dalam hal ini adalah fenomena gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang inti perjuangannya adalah menghidupkan kembali “semangat Piagam Jakarta”.
Sejarah Islam politik di Indonesia memang sangat memiliki arti penting bagi tumbuhkembangnya berbagai gerakan Islam baik yang bersifat legal-formalistik ataupun substantifistik. Keduanya merupakan akibat secara langsung dari polarisasi madzhab pemikiran Islam yang sudah ada sejak awalnya. Umumnya, bagi kalangan Islam yang bercita-cita menjadikan Islam sebagai agama negara mengidealkan sebuah negara Islam yang dalam pengertian “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafhur” (Negara yang damai yang diridhai Tuhan), kelompok ini masuk kedalam kategori legal-formal. Sedangkan sebagian lagi lebih mengorientasikan Islam sebagai sebuah ajaran yang rahmatan lil alamin sehingga cita-cita politik Islam tidak ditransformasikan dalam bentuk formal seperti negara tetapi lebih menekankan terhadap bagaimana ajaran-ajaran Islam yang universal itu bersemayam dalam hati kaum muslimin. Titik tekan mereka lebih mengarah kepada “li izza al-Islam wa al-Muslimun” (untuk kemajuan umat Islam secara keseluruhan). Maka jika kita tarik kedalam wacana besar pemikiran politik Islam, dapat disederhanakan kedalam dua bentuk kecenderungan besar: formalistik dan substantifistik.
Pada tingkatan praksis politik, aktivitas politik Islam—terutama di Indonesia—tampaknya juga disamping dilematis, ia juga selalu mencari aktualisasi diri bahkan tak jarang mengalami kegagalan-kegagalan. Hal inilah yang kemudian menuntut kelompok Islam politik harus merumuskan strategi perjuangannya secara lebih tepat jika ia ingin lebih eksis vis a vis negara. Din Syamsuddin memandang aktivitas politik Islam selama ini kedalam tiga strategi kecenderungan, pertama, strategi akomodatif-justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealitas Islam, dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan garis keras umat Islam. Beberapa aktivis politik Islam yang berasal dari NU dan Muhammadiyah atau ormas Islam lainnya dapat kita masukkan dalam kategori ini. Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatan sendiri. Ini memiliki konsekuensi kehilangan faktor pendukung, yaitu kekuatan negara itu sendiri yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain. Strategi seperti ini sering menjadi pola perjuangan kelompok Islam garis keras yang umumnya non kompromis dengan segala sesuatu yang berbau sekularistik. Beberapa aktivis FPI, Lasykar Jihad, Islam Jama’ah, Hizbut Tahrir, dan semacamnya bisa masuk dalam kategori ini. Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, namun tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam satu perjuangan dari dalam (struggle from within). Namun strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektivitas perjuangannya akan dipertanyakan. Strategi model ini biasanya banyak dilakukan oleh beberapa kalangan cendekiawan muslim yang sekaligus memiliki basis massa yang kuat dari organisasi dimana ia berasal. Ia bukan aktivis politik, namun memiliki posisi tawar yang kuat terhadap negara. Beberapa aktor intelektual Muslim yang juga sekaligus memiliki basis massa yang kuat dari organisasi yang dipimpinnya, seperti K.H. Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan lainnya.
Jika kita melihat lebih dekat kondisi Islam di Indonesia, nampaknya kekuatan-kekuatan politik Islam—saya sebenarnya tidak terlalu setuju dengan membuat dikotomi antara Islam politik dan Politik Islam—ini selalu menemui “jalan buntu” ketika mencoba berhadapan vis a vis negara. Perdebatan Konstituante pada masa awal kemerdekaan antar kelompok Islam-Nasionalis yang menghasilkan kompromi “setengah hati” bagi Islam sudah menjadi prediksi bahwa cita-cita negara Islam di Indonesia akan selalu kandas di tengah jalan. Apalagi jika kita melihat perolehan suara pada Pemilu 1955—dan Pemilu-Pemilu berikutnya—membuktikan bahwa Islam tidak pernah mencapai suara mayoritas, padahal umat Islam merupakan penduduk terbanyak di Indonesia.
Apalagi setelah Orde Baru berkuasa, Islam dalam bentuk “gerakan politik” senantiasa dicurigai, dipantau bahkan jika perlu dimusnahkan karena berbagai gerakan politik yang mengacu kepada ideologi tertentu—seperti Islam dan Komunisme—dianggap hanya akan menimbulkan kekacauan dan pemberontakan seperti yang pernah terjadi pada tahun 50-an. Dalam bahasa Orde Baru, kekuatan Islam politik yang mencoba melawan arus dikatagorikan sebagai “ekstrim kanan”. Oleh karena itu, Islam pada masa Orde Baru dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan politik yang berarti bahkan selalu terpinggirkan secara politik.
Kemunculan kembali kekuatan baru gerakan Islam politik nampaknya bisa kita amati pasca lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan. Partisipasi politik yang telah dibuka lebar membuat para tokoh muslim beramai-ramai membuat partai baik yang menggunakan simbolisasi Islam atau yang hanya berbasis Islam. Akhirnya, Islam kemudian hanya digunakan sebagai simbol yang “layak jual” pada setiap ajang Pemilu akan dilangsungkan. Islam hanya menjadi “alat” bagi kendaraan politik tertentu untuk dijadikan jalan meraih kekuasaan. Meski banyak diantara partai yang tidak latah terhadap simbolisasi Islam, namun tetap saja tidak pernah menjadi single majority meskipun semua partai yang berbasis massa Islam berkoalisi. Satu-satunya partai Islam yang tidak menggunakan simbol Islam tetapi memiliki massa cukup besar adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), namun partai ini-pun “besar” karena merupakan kepanjangan tangan dari organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Jika Indonesia merupakan contoh dari kondisi Islam politik yang selalu mengalami kegagalan, maka di Iran justru menambah semakin uniknya hubungan Islam dan politik. Sejak digulirkannya revolusi Iran 1979, hampir semua institusi pada tingkat negara dicoba untuk dimodernisasi dengan menghindari sebisa mungkin formalisasi Islam. Pada tingkat negara, urusan-urusan politik diserahkan kepada presiden namun kekuasaan tertinggi terletak ditangan para ulama. Kekuasaan “tak-terbantahkan” para ulama Iran ini dikenal dengan konsep wilayat al-faqih yang telah dielaborasi oleh Khomeini dengan menempatkan ulama “terpilih”(ayatullah) secara struktural berada diatas semua institusi kenegaraan.
Pada tingkat tertentu, Iran merupakan sebuah negara Islam yang mencoba memodernisasi diri dari dalam dengan memadukan konsep-konsep Islam dengan tradisi-tradisi Barat. Hal ini dilakukan hasil aliansi antara para ulama tradisional dan para intelektual muda Islam bersama-sama merubah “wajah Islam” di Iran melalui suatu gerakan revolusi. Hasilnya, Iran telah menemukan ruang politiknya tanpa harus dibarengi dengan kata (petunjuk) ilahi, atau dalam bahasa yang lebih sederhana telah terjadi sekularisasi dalam segala bidang di Iran.
Sekularisasi Iran tak terlepas dari peran Syi’isme yang sejak awal telah banyak bersentuhan dengan ideologi-ideologi Barat. Para ulama Syi’ah nampaknya sudah terbiasa mensitesakan pemikiran-pemikiran Barat dan Islam, mereka pada umumnya sangat terbuka terhadap dunia Barat berbeda dengan Islam Sunni yang tampaknya kurang terbuka terhadap dunia Barat. Maka wajar, jika kemudian revolusi Islam sejati hanya terjadi di Iran yang nota bene mayoritas Syi’ah dan tidak menutup kemungkinan bahwa para ulama Syi’ah juga terpengaruh oleh karya-karya Marx yang selalu menghembuskan angin revolusi untuk perubahan umat manusia.
Salah satu ekses dari wilayat al-faqih yang cukup membingungkan adalah peran dan fungsi syari’at dalam konstitusi negara. Syari’at dipandang sebagai suatu subordinasi dari konstitusi negara. Menurut versi Iran, konstitusilah yang menentukan syari’at dan bukan sebaliknya. Dengan mengembangkan suatu pemikiran bahwa hukum posistif dapat menjadi “islami” karena kenyataannya negara ini sudah Islami merupakan pertanda bahwa syari’at akan berakhir sebagai satu-satunya—sebagaimana yang dicitakan Islam politik—landasan norma yuridis. Inilah yang mendorong Oliever Roy beranggapan bahwa Iran merupakan model dari negara “sekular” dimana negara menjadi sumber hukum dan sekaligus sumber legitimasinya sendiri.
Berdasar keterangan diatas, saya beranggapan bahwa Islam politik yang umumnya berjuang demi pemberlakuan syari’at dalam konstitusi negara telah gagal melakukan misinya di Iran. Syari’at Islam di Iran hanya mendapat tempat pada pos-pos yang tidak penting dalam konstitusi negara. Beberapa hukum syari’at yang disetujui masuk dalam konstitusi itupun hanya bersifat simbolis, seperti qishas, hudud, dan diyat yang tetap berada pada pengaruh parlemen untuk mengundangkannya. Hal ini berarti para hakim harus mengacu pada hukum yang diundangkan itu tidak langsung pada syari’at.
Revolusi yang terjadi di Iran ternyata hanya berhasil pada satu sisi, yakni mendorong sekularisasi lebih tinggi ketimbang penyatuan atas tradisionalisme Islam dan modernisme Barat. Ulama—sejak masa Khomeini—telah diturunkan posisinya pada level negara sehingga para ulama-lah sebenarnya yang memegang kekuasaan politik atas negara, meskipun posisi ulama terpisah dari negara. Para ulama telah “disekulerkan” oleh kekuasaan Khomeini terutama para ulama muda (hujjatul Islam) yang direkrut oleh Khomeini karena mempunyai latar belakang pendidikan Barat yang cukup kuat. Dengan menempatkannya pada puncak kekuasaan, para ulama ini memiliki fatwa yang berlaku meski mereka sudah meninggal.
Penyatuan kembali ulama-negara terjadi setelah meninggalnya Khomeini pada 1989. Tak hanya itu, ide-ide revolusioner yang pernah hidup pada masa Khomeini sedikit-demi sedikit kehilangan relevansinya dan menuntut para tokoh Syi’ah Iran merestrukturisasi peran dan fungsi ulama serta negara. Hal ini dilakukan karena mereka tidak mungkin untuk mengembalikan keadaan kepada masa sebelum Khomeini. Islam politik di Iran pasca Khomeini telah gagal merekonstruksi dirinya ditengah arus sekularisasi yang puncaknya terjadi pada pemerintahan sekarang ini.
Kenyataan-kenyataan di atas, nampaknya bisa kita tarik suatu kesimpulan bahwa Islam politik di beberapa negara muslim dalam tataran praksis maupun ideologis mengalami kegagalan-kegagalan. Kegagalan-kegagalan ini diakibatkan oleh adanya pola orientasi Islam politik terhadap situasi kesejarahan pada masa Nabi dan Empat Sahabatnya tanpa memberikan satu alternatif sebuah bentuk masyarakat baru. Obsesi utama dari gerakan Islam politik untuk memberlakukan syari’at Islam pada tingkat konstitusi negara tidak disertai dengan semangat “pembaruan” unsur-unsur syari’at agar dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Mereka pada umumnya masih terkondisikan oleh nostalgia kejayaan Islam pada masa-masa abad pertengahan. Kalau tidak, Islam politik tampak kehilangan arahnya ketika ia mencoba membuat satu alternatif yang benar-benar baru dan benar-benar “modern”. Pada tahap ini, Islam politik justru terjebak pada sekularisasi yang tanpa pilah-pilah yang ujung-ujungnya adalah wacana Islam menjadi tereduksi kedalam tingkat ritualitas yang hanya menjadi urusan pribadi seorang muslim.
Keadaan ini, menurut hemat saya belum dapat dicarikan solusinya sebelum terjadi sebuah “lompatan” dalam sejarah Islam melalui penyadaran kaum muslim terhadap kenyataan-kenyataan bahwa mereka sedang “tertinggal” oleh Barat. “Kesadaran diri” umat Islam menjadi sangat penting bagi mengejar ketertinggalannya dari Barat. Bagi saya, aspek politik hanyalah bersifat komplementer dalam upaya melepaskan dunia Islam dari hegemoni Barat. Yang lebih penting adalah bagaimana umat Islam mengartikulasikan pemahaman politiknya pada realitas sosial tanpa terjebak oleh mutlak-mutlakan seperti dalam keharusan menegakkan syari’at secara murni atau sekularisasi yang kebablasan. Bagaimana keduanya—Islam dan Politik—berjalan beriring saling mengisi tanpa harus memisahkan atau menyatukan keduanya dalam kerangka pemikiran Islam yang orisinal.

Read More......

Kritik Atas Konsep Modernisasi

Modernisasi sejauh ini dipahami sebagai proses peralihan dari suatu masyarakat berkembang ke arah masyarakat yang lebih maju. Proses modernisasi memiliki pengertian tradisi dan modern sebagai awal dan akhir dari sebuah jalan yang harus ditapak oleh masyarakat negara berkembang. Nilai-nilai, prilaku, dan cara berfikir tradisional dipaksa untuk didinamisasi dan dimodernisasi oleh para teoritikus modernisasi yang pada awalnya dibayangkan sebagai suatu yang uniform (untuk semua negara berkembang sama) dan unilini (berjalan dalam garis lurus dalam gambaran tujuan masyarakat). Dalam prosesnya, modernisasi menganggap bahwa segala cara dan prilaku yang dianggap tradisional dalam suatu masyarakat dipahami sebagai sesuatu yang tidak modern dan modernitas masyarakat-masyarakat negara industri Barat menjadi gambar panutan pembangunan.




Modernisasi sejauh ini dipahami sebagai proses peralihan dari suatu masyarakat berkembang ke arah masyarakat yang lebih maju. Proses modernisasi memiliki pengertian tradisi dan modern sebagai awal dan akhir dari sebuah jalan yang harus ditapak oleh masyarakat negara berkembang. Nilai-nilai, prilaku, dan cara berfikir tradisional dipaksa untuk didinamisasi dan dimodernisasi oleh para teoritikus modernisasi yang pada awalnya dibayangkan sebagai suatu yang uniform (untuk semua negara berkembang sama) dan unilini (berjalan dalam garis lurus dalam gambaran tujuan masyarakat). Dalam prosesnya, modernisasi menganggap bahwa segala cara dan prilaku yang dianggap tradisional dalam suatu masyarakat dipahami sebagai sesuatu yang tidak modern dan modernitas masyarakat-masyarakat negara industri Barat menjadi gambar panutan pembangunan.
Gambaran secara umum terhadap keterbelakangan suatu masyarakat hanya dilihat oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terjadi didalam negara yang bersangkutan oleh teori modernisasi sebagai penghambat pembangunan. Seperti halnya kurangnya pendidikan pada sebagian besar masyarakatnya, adanya budaya lokal yang kurang menghargai nilai-nilai material dan sebagainya. Padahal, dalam suatu masyarakat atau negara terdapat juga faktor-faktor external penghambat pembangunan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Teori modernisasi cenderung menggeneralisasikan seluruh konsepnya dan dapat diterapkan terhadap semua konteks masyarakat dimanapun dan kapanpun. Semua masyarakat tradisional yang ditandai oleh cara berpikir yang irrasional serta cara kerja yang tidak efisien adalah “terbelakang” begitupun sebaliknya suatu masyarakat modern bercirikan masyarakat yang pemikirannya rasional dan cara kerja yang efisien, dan seterusnya. Dengan demikian, pemusatan pembangunan akan selalu berorientasi Barat yang notabene sudah maju dalam bidang industri. Hal inilah yang mengakibatkan strategi penerapan modernisasi yang “universal” belum tentu mampu merubah laju masyarakat terbelakang sesuai realitas.

Read More......

Thursday, January 22, 2009

Demokrasi dan Perubahan Sosial di Indonesia

Pendahuluan
Demokrasi dan perubahan sosial bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Sebagai satu muatan nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi menjadi semacam “virus” yang mendorong ke arah perubahan sosial. Demokrasi telah menjanjikan kepada seluruh umat manusia akan satu tatanan yang penuh keserasian, kemerdekaan, kebebasan sehingga wajar jika Francis Fukuyama yakin bahwa demokrasi merupakan akhir sejarah ideologi umat manusia sebab tidak ada lagi nilai-nilai kemanusiaan yang mampu diterima secara universal, kecuali demokrasi.


Secara historis, demokrasi memang lahir di Barat. Gagasan mengenai demokrasi telah diwariskan oleh kebudayaan Yunani Kuno lebih dari dua puluh lima abad yang lampau, namun nilai-nilainya mampu merasuki setiap kultur suatu masyarakat hampir di semua negara. Setiap penguasa bahkan selalu mengklaim kekuasaannya sebagai demokratis meskipun dalam dirinya adalah tidak demokratis.

Di Indonesia, gagasan mengenai demokrasi memang telah direspons oleh para founding fathers kita tatkala republik ini menikmati kemerdekaannya. Gagasan-gagasan demokrasi tersebut kemudian secara legal-formal telah menjadi bagian dari undang-undang dasar yang dibuat terutama mengenai hak atas kebebasan mengeluarkan pikiran secara lisan dan tertulis, berkumpul dan berserikat.
Namun demikian, nilai-nilai demokrasi yang berasal dari Barat terkadang menjadi persoalan yang rumit ketika diterapkan pada suatu kondisi kultural yang berbeda. Hal ini disebabkan karena situasi kultural kerakyatan dalam suatu negara biasanya selalu memperlihatkan ciri-cirinya yang khas sehingga penerimaan terhadap nilai-nilai liberal dalam demokrasi Barat terkadang bertentangan dengan nilai-nilai budaya dan tradisi rakyat sebagaimana hal ini terjadi di Indonesia. Akibatnya, beberapa istilah baru muncul dalam sejarah Indonesia, seperti Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila.

Makna dan Konsep Demokrasi
Berbicara mengenai konsep demokrasi ternyata tidak ada satu keragaman pengertian mengenai kata demokrasi itu sendiri. Hampir dari setiap definisi mengenai demokrasi yang pernah dilontarkan tidak memiliki satu pengertian demokrasi secara universal. Hal ini disebabkan bahwa konsep demokrasi sangat luas, ia tidak hanya berbicara pada tataran politik, namun juga ekonomi, sosial dan bahkan budaya. Itulah sebabnya mengapa kemudian muncul definisi “minimalis” dan “maksimalis” atau “normatif” dan “empirik” bagi demokrasi sebagai upaya pencarian pengertian mengenai demokrasi secara sistematis dan bisa diterima secara universal. Namun pada kenyataannya hal itu sulit terwujud.
David Beetham, sebagaimana dikutip Anders Uhlin, mengemukakan definisi yang cukup ampuh mengenai demokrasi seperti ini. Dia mendefinisikan demokrasi sebagai, “sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat”. Tatanan yang demokratis adalah “yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas memiliki hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan semacam itu”. Dari definisi tersebut telah masuk unsur “kontrol masyarakat” dan “kesetaraan politis” yang diterima sebagai ciri tatanan demokratis yang universal.
Demokrasi tidak lagi dipahami sebagai suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagaimana yang dipraktekkan pada zaman Yunani Kuno. Makna demokrasi seperti ini nampaknya lebih bernuansa politis karena keputusan-keputusan dijalankan secara langsung oleh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Model demokrasi langsung seperti ini akan sulit diimplementasikan terhadap negara-negara modern seperti sekarang ini, mengingat meningkatnya jumlah penduduk, faktor geografis (meningkatnya luas wilayah negara) maupun kompleksitas kehidupan negara yang semakin lama semakin rumit.
Oleh karena itu, Joseph Schumpeter mengemukakan apa yang ia sebut sebagai “teori lain mengenai demokrasi”. “Metode demokratis”, katanya, adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat”. Demokrasi pada masa-masa sekarang tidak lagi dipahami sebagai suatu gagasan konseptual namun lebih mengarah kepada hal-hal yang prosedural sebagaimana yang kemudian di kembangkan oleh Schumpeter ini.
Tradisi demokrasi prosedural a la Schumpeter ini kemudian dianggap sebagai metode demokrasi dalam upaya proses perubahan sosial yang banyak diterapkan oleh beberapa negara, terutama negara-negara Dunia Ketiga. Tradisi Schumpetarian ini juga yang kemudian digunakan oleh Huntington dalam menganalisis tingkat demokratisasi negara-negara, khususnya negara-negara Dunia Ketiga. Hasil survei ini kemudian mencatat bahwa antara tahun 1974 sampai dengan tahun 1992 tiga puluhan negara telah mengalami proses transisi menuju demokrasi.
Pemahaman demokrasi dalam konteks seperti ini (prosedural) mengizinkan kita untuk mengamati: apakah dalam suatu sistem politik pemerintah memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakatnya untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi politik mereka melalui organisasi politik yang ada? Di samping itu, kita juga diperkenankan untuk mengamati sejauh mana kompetisi antara para pemimpin dilakukan secara teratur untuk mengisi jabatan politik. Dengan demikian, makna demokrasi secara prosedural telah memberikan beberapa patokan kepada kita tentang bagaimana membuat sebuah negara itu menjadi demokratis diukur dari tingkat partisipasi, kontes, kontrol masyarakat dan kesetaraan politis.
Sejauh ini, konsep demokrasi prosedural yang ditawarkan Schumpeter telah menjadi bagian dari analisa yang paling komprehensif dalam mengetahui sejauh mana konsep tersebut dapat menjelaskan suatu perubahan sosial yang terjadi di beberapa negara berkembang. Untuk kasus Indonesia, gambaran yang paling jelas mengenai potensi-potensi demokratis dalam rangka perubahan sosial terdapat pada masa Orde Baru.

Demokratisasi dan Perubahan Sosial di Indonesia
Demokratisasi dipahami sebagai suatu perubahan yang panjang dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Dalam hal ini biasanya demokratisasi berjalan seiring dengan modernisasi yakni perubahan dari bentuk tatanan tradisional ke arah yang lebih modern. Dengan demikian, demokratisasi identik dengan perubahan sosial.
Di Indonesia, proses demokratisasi yang paling jelas dapat kita lihat pada masa Orde baru. Terutama pada awal 1980-an dan pertengahan 1990-an dimana pada masa tersebut gerakan-gerakan prodemokrasi mulai muncul dalam rangka memperjuangkan demokrasi dan demokratisasi. Kemunculan gerakan-gerakan tersebut disinyalir sebagai respons terhadap cara orang di negara-negara lain menyuarakan demokrasi. Terutama sekali oleh ekses yang paling luas dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang banyak memberitakan perkembangan negara lain. Gerakan “People’s Power” di Filipina pada 1989, demonstrasi rakyat yang mempercepat transisi Chun Doo Hwan kepada Roh Tae Woo di Korea Selatan pada 1987-1988, runtuhnya ideologi komunis di Soviet, menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan prodemokrasi di Indonesia.
Gerakan-gerakan ini kebanyakan disebabkan oleh rezim otoriter Orde Baru yang secara historis nyaris kebal terhadap gelombang demokratisasi global. Demokratisasi memang ada tapi hanya pada tahap lip service, belum sampai kepada tahap pelaksanaan yang konkret. Demokratisasi di Indonesia belum diiringi oleh liberalisasi. Padahal, liberalisasi merupakan syarat penting terwujudnya demokrasi. Kebebasan yang semakin longgar kepada media, ruang yang lebih luas bagi aktivis organisasi, dilakukannya perlindungan terhadap individu, dilepaskannya sebagian besar tahanan politik, kembalinya tokoh-tokoh yang diasingkan, yang kesemuanya itu barangkali merupakan ukuran bagi terwujudnya demokrasi. Inti dari permasalahan ini adalah “kebebasan politik” dimana orang-orang dalam satu negara bebas melakukan kegiatan dan bisa menikmati hak-hak politik dan kebebasan sipil mereka.
Proses demokratisasi semacam ini yang dikatakan oleh Huntington sebagai gelombang transisi dari pemerintahan nondemokratis kepada pemerintahan yang demokratis, dimana pada proses ini ada kecenderungan untuk memfokuskan pada proses transisi rezim. Pada tingkatan yang paling sederhana, demokratisasi dalam hal ini mensyaratkan: (1) berakhirnya suatu rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu.
Proses demokratisasi semacam ini hanya terbatas pada wilayah politik. Padahal, penelitian menggenai demokrasi haruslah dianggap sebagai suatu wacana yang lebih luas, mencakup sosial dan ekonomi. Hal ini akan menghilangkan kajian demokrasi yang sempit, hanya terbatas dalam bidang politik. Pada kajian demokratisasi seperti ini, banyak aktor-aktor yang terlibat sebagai penggerak demokratisasi.
Peran kelas menengah pada masa Orde Baru juga dapat ditunjuk sebagai faktor yang berpengaruh dalam proses demokratisasi. Golongan menengah ini pada umumnya membuat organisasi-organisasi, seperti LSM, organisasi dakwah keagamaan, lembaga pendidikan dan sebagainya. Ketika memasuki organisasi itulah, mulai timbul kesadaran mengenai hak-hak individu, termasuk kebebasan untuk berpendapat. Mereka membentuk apa yang sekarang disebut masyarakat madani atau civil society.
Pembangunan nasional Indonesia dalam banyak hal telah menunjukkan keberhasilan. Sistem pendidikan dan media massa, identitas nasional dibangun. Tidak ada yang menyangkal bahwa pembangunan sosial-ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru sangat berhasil. Hal itu dapat kita lihat dari meningkatnya pendapatan perkapita yang sudah mencapai US$ 550, kemampuan baca-tulis orang dewasa yang sudah mencapai 75%, urbanisasi yang sudah menampakkan dirinya serta semakin banyaknya masyarakat yang diekspos media massa. Hubungan antar berbagai kelompok etnis dan agama di Indonesia tidak menampakkan gejala-gejala konflik serius, jika tidak dikatakan sebagai harmonis.
Gambaran di atas nampaknya merupakan gejala demokratisasi yang positif pada masa Orde Baru. Digulirkannya isu “persatuan nasional” oleh rezim Orde Baru memang sudah menjadi prasyarat bagi demokratisasi. Teori Demokrasi umumnya membenarkan bahwa kesatuan nasional adalah prasayarat terwujudnya demokrasi. Merupakan keharusan setiap bangsa untuk mendifinisikan “demos” dari demokrasi. Keberagaman etnik, budaya dan geopolitik serta faktor-faktor lain yang dianggap sebagai penyebab konflik, dilihat sebagai penghambat demokrasi.
Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang mantap selama rezim Suharto berkuasa seharusnya menimbulkan liberalisasi politik. Namun hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, krisis ekonomi yang terjadi malah jatuhnya sang diktator. Hal inilah barangkali yang dijadikan alasan bagi kejatuhan rezim Orde baru, bahwa terjadi ketimpangan dalam proses demokratisasi; dalam bidang politik, ternyata banyak proses demokratisasi yang terhambat. Akibatnya, tuntutan terhadap demokratisasi politik semakin membesar dan puncaknya terjadi pada Mei 1998 dengan ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru.
Munculnya gerakan-gerakan prodemokrasi di Indonesia pada satu sisi dapat dilihat sebagi suatu gerakan “ideologi” yang menginginkan perubahan. Ideologi ini pada dasarnya mempunyai tugas mengangkat masyarakat dari kelambanan menuju percepatan perubahan terhadap tatanan yang ada. Meskipun diantara gerakan prodemokrasi di Indonesia proses “percepatan” terkadang dimanifestasikan melalui gerakan-gerakan revolusioner atau transformatif. Tapi yang jelas, keberadaan gerakan-gerakan ini telah menjadi aktor utama dalam proses demokrasi dan perubahan sosial di Indonesia.
Gerakan-gerakan prodemokrasi yang dimaksud adalah merupakan individu-individu yang mempunyai inisiatif dan kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan yang mengarah kepada perubahan. Namun, mereka biasanya tidak bertindak dalam sebuah kekosongan tetapi dalam suatu konteks kultural-struktural di mana pelbagai keyakinan, sumber daya organisasional, dan penemuan-penemuan teknologi membentuk prilaku mereka. Dalam menganalisa peran gerakan prodemokrasi di Indonesia, Uhlin menjelaskan empat kategori yang membedakan beberapa bentuk gerakan tersebut: 1) kelompok pembangkang elit dan intelektual; 2) generasi LSM senior; 3) aktivis mahasiswa; dan 4) generasi baru LSM prodemokrasi dan hak asasi manusia.
Gerakan-gerakan tersebut pada dasarnya telah membentuk civil society yang kuat sehingga proses perubahan yang terjadi berada dalam koridor demokrasi secara tepat. Tanpa kemunculan gerakan-gerakan prodemokrasi ini barangkali perubahan sosial dan demokratisasi di Indonesia tidak mungkin terjadi secepat ini. Dengan demikian, harapan besar selanjutnya terletak pada elemen-elemen civil society di Indonesia dalam meneruskan perubahan ke arah yang lebih baik.


Daftar Bacaan

Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999

Anders Uhlin Ph.D, Demokratisasi di Indonesia: Peluang dan Hambatan, dalam Wacana: Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 2, Tahun 1999, hal. 77.

Anders Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Gelombang Demokratisasi Ketiga di Indonesia, Rofik Suhud (terj.), Bandung, Mizan, 1998

Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, (terj.) Lukman Hakim, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1992

Juan J. Linz et. Al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, Rahmani Astuti (terj.), Bandung, Mizan, 2001

M. Dawam Rahardjo, Kelas Menengah dan Demokratisasi Politik, dalam Demokratisasi Kekuasaan, M. Deden Ridwan, et. Al. (Editor), Jakarta, LSAF, 1999

Miriam Budiarjdo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1977
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, (terj.) Asril Marjohan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1995

UUD 1945, Pasal 28
Read More......

Budaya Politik Orde Baru

Pendahuluan
Awal Orde Baru seringkali disebutkan oleh para pengamat sebagai suatu pengharapan baru terutama yang berkaitan dengan perubahan-perubahan politik, dari yang bersifat otoriter pada masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama) ke arah kehidupan yang lebih demokratis. Hal ini bisa terlihat dalam sejarah, bahwa berbagai elemen masyarakat, khususnya ABRI telah berhasil menumbangkan berbagai pemberontakan baik yang bersifat separatisme maupun radikalisme yang hendak memecah belah negara kesatuan RI. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru kemudian menjadi tonggak utama kebangkitan Indonesia baru melalui sejuta harapan masyarakat Indonesia terhadap pemulihan berbagai sektor kehidupan menuju ke arah yang lebih baik.


Kekecewaan masyarakat yang kian hari semakin membesar ternyata direspons secara kurang proporsional oleh aparat pemerintah. Terjadi kemudian aksi “penekanan” dari pihak aparat terhadap para warganya yang mulai “bandel” terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Penekanan-penekanan ini ada kalanya sangat bersifat represif atau bahkan kooperatif tergantung seberapa pentingnya seseorang atau organisasi itu memiliki posisi tawar (bargaining position) terhadap pemerintah.
Sistem politik Orde Baru memang tidak jauh berbeda substansinya dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang pernah dijalankan Soekarno sejak 1959. Keduanya memiliki kesamaan pada sistem politiknya yang otoritarian dan bermuara pada kekuasaan kepresidenan sebagai pusat dari seluruh proses politik yang berjalan di Indonesia. Keadaan ini tidak hanya dipicu oleh suatu sistem kekuasaan yang mengharuskan stabilitas dalam berbagai sektor kehidupan, namun juga dipengaruhi oleh budaya politik yang mengitarinya yang merupakan warisan dari masa-masa sebelumnya. Beberapa pengamat menyatakan bahwa kekuasaan otoriter Soeharto pada masa Orde Baru sangat kental diwarnai oleh budaya Jawa yang menekankan kepada keharmonisan, stabilitas dalam segala situasi seiring dengan konsep kewibawaan dan wewenang yang anti-kritik, sehingga pada satu sisi menekankan pada stabilitas masyarakat yang kuat namun disisi lain menghambat perkembangan demokratisasi karena ia memang sangat alergi terhadap kritik. Dari sinilah nampaknya kita dapat menjelaskan, paling tidak kenapa kekuasaan Orde Baru cukup kuat bertahan dalam sebuah gelombang demokratisasi yang begitu hebat sedang melanda berbagai belahan dunia, khusunya di Dunia Ketiga.


Medefinisikan Budaya Politik
Istilah budaya politik sebenarnya mengacu kepada nilai-nilai serta sikap seseorang atau kelompok yang berkembang secara dinamis dalam sebuah masyarakat. Nilai dan kebiasaan masyarakat merupakan hal yang sangat vital dalam pembentukan budaya politik yang merefleksikan sikap dan tingkah laku warganya. Kajian yang lebih konkret mengenai budaya politik telah dilakukan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba dengan meneliti seberapa jauh sistem politik dalam suatu negara dipengaruhi oleh orientasi masyarakat, baik orientasi keagamaan, nilai-nilai, serta adat yang kemudian membentuk sebuah budaya politik yang khas negara tersebut. Mereka telah melakukan penelitian pada lima negara serta menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa ada hubungan yang kuat antara budaya politik pada masyarakat suatu negara dengan kestabilan demokrasi suatu negara.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara terhadap sistem itu. Melalui definisi tersebut paling tidak akan membawa kita terhadap suatu pemahaman yang memadukan dua konsep, yaitu individu dan sistem, dimana aspek individu memiliki pengaruh yang cukup penting dalam perubahan masyarakat, sebab individu merupakan aktor penting dalam perubahan sosial. Namun demikian, individu-individu yang memiliki kemampuan untuk mampengaruhi perubahan tidak berada dalam kekosongan sistem, ia tetap berada dalam suatu ikatan sistem yang sedang berjalan.
Disamping orientasi terhadap sistem politik, pandangan dan sikap sesama warga negara juga merupakan aspek budaya politik yang cukup penting. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility) yang biasanya memang terdapat antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya, kelompok yang satu dengan kelompok lainnya atau antara golongan satu dengan golongan lainnya dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari rasa percaya dan permusuhan itu termanifestasikan kedalam dua bentuk, yaitu kerja sama dan konflik. Kedua bentuk kualitas politik tersebut terus menerus hidup dalam sebuah sistem masyarakat dan sangat menentukan proses pematangan budaya politik. Dengan kata lain, tingkat kematangan budaya politik sangat ditentukan oleh bagaimana mengakomodasi, baik kerja sama dan konflik, agar tercipta suatu kestabilan sistem politik yang lebih demokratis.
Berdasar pada fungsi budaya politik yang akan menghasilkan stabilitas politik, maka Claude Ake berpendapat, bahwa terdapat dua permasalahan bagaimana agar tujuan tersebut tercapai dengan baik, pertama bagaimana rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara, dan kedua bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik warga negara. Dengan demikian, pada tahap ini kematangan suatu budaya politik menjadi sangat ditentukan oleh peran dan fungsi negara dalam memberlakukan sistem politiknya. Sebagaimana kita lihat pada masa Orde Baru, peran negara akan sangat besar sekali dalam mencampuri urusan-urusan masyarakat, bahkan sampai pada lingkup yang paling kecil sekalipun.

Orde Baru dan Pengaruh Budaya Jawa
Kajian mengenai kuatnya pengaruh budaya Jawa dalam praktek politik Orde Baru sudah banyak dilakukan orang. Salah satu kajian mengenai hal ini pernah dilakukan oleh Donald K Emmerson yang dengan menggunakan perspektif kultural menganalisis komposisi elit birokrasi di Indonesia. Emmerson sampai pada satu kesimpulan bahwa kultur dominan yang duduk dalam birokrasi adalah abangan berlatar belakang jawa. Hal tersebut mengindikasikan paling tidak, bahwa mencermati politik Indonesia pada masa-masa Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya yang mengitarinya, terutama budaya Jawa.
Sebagaimana diketahui, pengaruh budaya Jawa yang begitu kuat dalam praktek politik Orde Baru merupakan elaborasi konsep kekuasaan Jawa yang dilakukan oleh Soeharto. Konsep kekuasaan Jawa yang menekankan harmonisasi termanifestasi dalam berbagai kebijakan politik yang cenderung otoriter dan memperbesar peran negara dalam urusan-urusan kemasyarakatan. Agar masyarakat ini stabil, maka negara mengerahkan segala kekuatannya untuk mengontrol kekuatan-kekuatan politik secara ketat. Hasil dari kontrol negara yang begitu ketat mencapai titik kulminasinya pada upaya depolitisasi massa melalui pemberlakuan fusi untuk semua partai politik kedalam 3 kekuatan politik yang diakui pemerintah: PDI, Golkar, PPP.
Budaya Jawa seringkali dijadikan seperangkat ide oleh rezim Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaannya. Menurut Todung M. Lubis—yang dikutip oleh Anders Uhlin—mencirikan tiga aspek budaya Indonesia (khususnya pengaruh Jawa) yang telah “melanggar hak asasi manusia”, yaitu pertama kepercayaan terhadap hierarki sosial yang didasarkan pada gagasan Jawa tentang hubungan antara kawula dan gusti. Kedua, obsesi terhadap keselarasan dan keteraturan. Ketiga, penekanan pada kewajiban melampaui hak. Ada kecenderungan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh Asia, untuk menganggap bahwa masyarakat lebih terdiri dari kelompok-kelompok daripada individu-individu.
Meskipun budaya Jawa bukan merupakan satu-satunya yang faktor penentu tumbuhnya struktur ide otoriter Orde Baru, namun tetap memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam budaya politik Indonesia. Konsep “harmonisasi” yang diklaim berasal dari budaya Jawa masih mewarnai pengambilan kebijakan-kebijakan politik. Hal tersebut dilakukan pada dasarnya sebagai penekan terhadap situasi konflik yang kerap muncul melawan keutuhan negara. Semasa Orde Baru, kegiatan pengambilan keputusan di tingkat lembaga negara jarang sekali—untuk mengatakan tidak ada sama sekali—menemui hambatan-hambatan yang berarti. Prinsip “voting” misalnya, dalam lembaga negara dianggap tabu karena mencerminkan sikap individualisme. Hal ini bertolak belakang dengan gambaran rakyat Indonesia yang dari Sabang sampai Merauke, individual tidaklah dikenal. Bukan individu, tepai masyarakatlah yang berperan.
Konsep budaya Jawa yang cukup penting mempengaruhi praktek politik Orde baru adalah jumbuhing kawula gusti. Dalam mistik Jawa, konsep ini melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu tercapainya “kesatuan” yang sesungguhnya (manunggal) dengan Tuhan. Namun dalam prakteknya, konsep ini berada pada tataran komunikasi sosial yang lebih konkret dengan merubah polanya menjadi kawula-gusti yang berarti penyatuan sosial antara hamba dan tuan. Konsep kawula-gusti yang hidup dalam bentuk komunikasi sosial melahirkan bentuk penghambaan seorang hamba kepada tuannya. Perkembangan yang lebih besar pada tingkat negara adalah bergantungnya masyarakat terhadap negara sehingga negara memiliki kekuatan penuh untuk mengatur rakyatnya. Konsep “negara kuat” (strong state) benar-benar wujud dari pengaruh budaya Jawa selama berkuasanya rezim Orde Baru dibawah kendali Soeharto.

Demokrasi dan Demokratisasi: ke Arah Pematangan Budaya Politik Indonesia
Pada satu sisi, budaya politik merupakan cerminan dari prilaku khas warga negara terhadap sistem politiknya, sehingga budaya politik satu negara akan tetap berbeda dengan budaya politik negara lain. Namun pada sisi lain, kematangan budaya politik akan sangat diperlukan mengingat dinamika perubahan sosial akan terus berjalan seiring dengan proses demokratisasi yang saat ini sedang berjalan. Antara kematangan budaya politik dan demokratisasi merupakan dua peristiwa yang saling mempengaruhi dan saling mengisi dalam kerangka perubahan sosial.
Proses demokratisasi dan perjuangan demi demokrasi merupakan ciri penting perkembangan politik di sebagian besar belahan dunia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Proses demokratisasi biasanya ditandai dengan adanya penolakan dan penghapusan terhadap praktek-praktek dan ide-ide otoritarianisme meskipun demokratisasi sebenarnya mencakup segala hal, baik sosial maupun ekonomi sebab demokratisasi tidak lain dari modernisasi, dimana demokratisasi merupakan hasil dari perubahan panjang kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan bahkan budaya.
Samuel P. Huntington dalam karyanya Third Wave of Democratization (1991) bahkan telah menjelaskan lebih luas bahwa telah terjadi gelombang demokratisasi di berbagai belahan dunia. Gelombang demokratisasi pertama terjadi pada 1828-1926, gelombang demokratisasi kedua pada 1943-1962 dan gelombang demokratisasi ketiga pada 1974-sekarang. Sebuah gelombang demokratisasi, menurutnya adalah sekelompok transisi dari rezim-rezim nondemokratis ke rezim-rezim demokratis, yang terjadi dalam kurun waktu tertentu dan jumlahnya secara signifikan lebih banyak dari pada transisi menuju sebaliknya.
Di Indonesia, proses demokratisasi—yang merupakan respons terhadap ide-ide asing demokrasi Barat—sudah berlangsung lama bahkan semenjak awal kemerdekaan, ketika para founding fathers kita membicarakan soal bentuk pemerintahan negara Indonesia, demokrasi telah menjadi isu besar dalam perdebatan seputar bentuk pemerintahan negara Republik Indonesia. Bahkan secara historis, sejak kemerdekaannya pada 1945, bangsa Indonesia telah menggunakan nama demokrasi untuk sistem pemerintahannya, yakni Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Demokrasi Pancasila (1965-?). Namun demikan, demokrasi pada masa ini hanya berhenti pada tataran normatif belum sampai pada pelaksanaan empiris. Wacana demokrasi barangkali tidak banyak mempengaruhi masyarakat waktu itu. Ramainya diskursus mengenai demokrasi dan demokratisasi mulai ramai dibicarakan orang pada 1980-an dan tuntutan terhadap pemerintahan demokratis mulai meluas terutama pada pertengahan 1990-an dimana hal ini ditandai—menurut Anders Uhlin—oleh munculnya gerakan-gerakan prodemokrasi yang terdiri dari orang atau organisasi yang secara aktif menuntut reformasi demokratis dan menggunakan wacana demokrasi.
Ada dua pendekatan berbeda terhadap konsep demokrasi. Demokrasi dapat dilihat sebagai tujuan atau sebagai label bagi sistem politik yang ada. Teori normatif berkenaan dengan demokrasi sebagai tujuan (resep tentang bagaimana demokrasi itu seharusnya) sementara teori empiris berkenaan dengan sistem politik yang ada (deskripsi tentang apa demokrasi itu sekarang). Untuk pemahaman yang terakhir disebut sebagai procedural democracy. Dalam bukunya, Capitalism, Socialism and Democracy, Schumpeter menganggap pengertian demokrasi prosedural ini sebagai metode demokrasi yang paling efektif. “Metode demokratis”, katanya, “adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat”.
Untuk bisa sampai kepada penjelasan mengenai demokratisasi ada baiknya kalau kita lihat pada aspek normatif maupun empirisnya. Hal ini sangat dimungkinkan karena adanya penyebaran ide-ide demokratisasi secara transnasional, dimana objek penyebaran bisa jadi adalah ide-ide tentang bentuk demokrasi apa yang harus diterapkan, diambil dari pelbagai doktrin dan wacana tentang demokrasi; tetapi bisa juga berupa praktik-praktik demokrasi yang dijadikan model. Penggabungan antara dua konsep tersebut sebenarnya sangat dimungkinkan untuk menganalisis demokratisasi seperti di Indonesia.
Demokrasi pada hakikatnya merupakan konsep yang sangat luas sehingga tidak ada keseragaman mengenai definisi demokrasi; apakah demokrasi harus diterjemahkan sebagai model demokrasi liberal yang etnosentris ataukah demokrasi partisipatoris yang lebih substantif. Namun, dalam kajian-kajian mengenai demokratisasi tampak ada kecenderungan untuk mengambil begitu saja asumsi bahwa hanya ada satu model demokrasi dasar bagi demokrasi, model liberal dengan lembaga dan aturan tertentu yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sehingga model “Barat” merupakan satu-satunya model demokrasi yang “sejati”, harus diberlakukan di semua negara lain. Padahal kalau kita mengkaji Indonesia, inspirasi demokrasi tidak hanya sekedar didapat dari Barat, tetapi juga dari ajaran Marx, al-Qur’an, serta dari nilai-nilai tradisional Indonesia. Menurut Afan Gaffar, dalam menganalisis demokrasi di Indonesia mesti memerlukan syarat-syarat khusus yang mampu melepaskan “bias” dan etnosentrisme. Karena etnosentrisme membuat permasalahan dalam melihat demokrasi di Indonesia tidak objektif.
Banyak diantara para toretisi demokrasi yang menentang objektivisme kultural ini. Selain pendefinisian demokrasi ini menjadi sangat sempit, yaitu hanya berakar pada “Barat sentris” juga akan membuat paksaan terhadap keseragaman budaya, padahal banyak budaya non-Barat sangat berbeda dengan budaya Barat. Hal ini akan mengakibatkan sulitnya menerapkan demokrasi di negara-negara Dunia Ketiga semisal Indonesia.
Nilai-nilai demokrasi sebanarnya sangat universal. Nilai-nilai dasar ini bisa didasarkan pada humanisme sekular ataupun kepercayaan keagamaan, yang tidak satu kebudayaan pun dapat mengklaim diri sebagai pemiliknya dan yang dapat disokong oleh semua demokrat di seluruh dunia. Setiap negeri memiliki unsur-unsur di dalam sejarah dan budayanya yang dapat dieksploitasi sebagai aset demokrasi. Prinsip-prinsip seperti, penghargaan atas kehidupan dan martabat manusia, kesamaan di hadapan hukum, perlindungan setara oleh hukum, peradilan yang jujur, perlindungan terhadap kelompok minoritas, semuanya memiliki validitas universal. Prinsip-prinsip ini ditekankan dalam kitab suci semua agama besar dan telah secara luas dipraktikkan di dalam masyarakat yang berbeda. Prinsip-prinsip itu merupakan ciri penting demokrasi, meski dalam dirinya sendiri bukan merupakan demokrasi.
Pendefinisian mengenai demokrasi seharusnya dapat diterima baik pada tataran normatif maupun empiris. Paling tidak, unsur-unsur universal demokrasi dapat diterima secara umum dengan memasukkan penafsiran tentangnya secara berbeda-beda. Definisi seperti ini nampaknya memang sulit karena beragamnya definisi mengenai demokrasi, namun kita cukup kompak apabila memasukkan setiap jenis doktrin pemerintahan dan sistem politik untuk dapat memberi definisi demokrasi yang berlaku di tingkat empiris maupun normatif. David Beetham, sebagaimana dikutip Anders Uhlin, mengemukakan definisi yang cukup ampuh mengenai demokrasi seperti ini. Dia mendefinisikan demokrasi sebagai, “sebuah cara pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara kolektif, yang dikenai kontrol oleh rakyat”. Tatanan yang demokratis adalah “yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas memiliki hak setara yang efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam pengambilan keputusan semacam itu”. Dari definisi tersebut telah masuk unsur “kontrol masyarakat” dan “kesetaraan politis” yang diterima sebagai ciri tatanan demokratis yang universal.
Setelah mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan rakyat (people’s rule) yang dilandaskan pada kontrol masyarakat dan kesetaraan politik, demokratisasi—yakni proses menuju demokrasi—harus didefinisikan sebagai semakin meningkatnya penerapan pemerintahan rakyat pada lembaga, masalah dan rakyat yang sebelumnya tidak diatur menurut prinsip-prinsip demokrasi tersebut. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya terbatas pada masalah institusi politik formal. Demokratisasi dalam lingkup sosial dan ekonomi juga mempunyai relevansi potensial.
Dengan mengacu kepada definisi demokratisasi seperti itu—sebagaimana diajukan oleh Anders Uhlin—dalam menganalisis proses-proses demokratisasi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, modernisasi, transisi, dan struktural. Teori modernisasi melihat demokratisasi sebagai dari bagian proses modernisasi. Pendekatan transisi terfokus pada peran aktor-aktor politik dalam transisi aktual dari rezim otoriter menuju rezim yang lebih demokratis. Pendekatan struktural menekankan proses-proses panjang perubahan sejarah. Ketiga pendekatan ini yang kemudian dipakai oleh Uhlin dalam menganalisis demokratisasi di Indonesia.

Demokratisasi di Indonesia
Untuk dapat memahami secara jelas dampak demokratisasi di Indonesia adalah pada masa Orde Baru. Terutama pada awal 1980-an dan pertengahan 1990-an dimana pada masa tersebut gerakan-gerakan prodemokrasi mulai muncul dalam rangka memperjuangkan demokrasi dan demokratisasi. Kemunculan gerakan-gerakan tersebut disinyalir sebagai respons terhadap cara orang di negara-negara lain menyuarakan demokrasi. Terutama sekali oleh ekses yang paling luas dari berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang banyak memberitakan perkembangan negara lain. Gerakan “People’s Power” di Filipina pada 1989, demonstrasi rakyat yang mempercepat transisi Chun Doo Hwan kepada Roh Tae Woo di Korea Selatan pada 1987-1988, runtuhnya ideologi komunis di Soviet, menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan prodemokrasi di Indonesia.
Respons terhadap berbagai “isu global” mengenai demokratisasi di negara-negara lain nampaknya yang memicu lahirnya gerakan prodemokrasi di Indonesia. Gerakan-gerakan ini kebanyakan disebabkan oleh rezim otoriter Orde Baru yang secara historis nyaris kebal terhadap gelombang demokratisasi global. Demokratisasi memang ada tapi hanya pada tahap lip service, belum sampai kepada tahap pelaksanaan yang konkret. Demokratisasi di Indonesia belum diiringi oleh liberalisasi. Padahal, liberalisasi merupakan syarat penting terwujudnya demokrasi. Kebebasan yang semakin longgar kepada media, ruang yang lebih luas bagi aktivis organisasi, dilakukannya perlindungan terhadap individu, dilepaskannya sebagian besar tahanan politik, kembalinya tokoh-tokoh yang diasingkan, yang kesemuanya itu barangkali merupakan ukuran bagi terwujudnya demokrasi. Inti dari permasalahan ini adalah “kebebasan politik” dimana orang-orang dalam satu negara bebas melakukan kegiatan dan bisa menikmati hak-hak politik dan kebebasan sipil mereka.
Proses demokratisasi semacam ini yang dikatakan oleh Huntington sebagai gelombang transisi dari pemerintahan non demokratis kepada pemerintahan yang demokratis, dimana pada proses ini ada kecenderungan untuk memfokuskan pada proses transisi rezim. Pada tingkatan yang paling sederhana, demokratisasi dalam hal ini mensyaratkan: (1) berakhirnya suatu rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokratis; (3) pengkonsolidasian rezim demokratis itu. Proses transisi rezim seperti ini dapat diterapkan di Indonesia pada saat turunnya Suharto pada Mei 1998 yang merupakan akhir dari sebuah rezim otoriter.
Proses demokratisasi semacam ini hanya terbatas pada wilayah politik. Padahal, penelitian menggenai demokrasi haruslah dianggap sebagai suatu wacana yang lebih luas, mencakup sosial dan ekonomi. Hal ini akan menghilangkan kajian demokrasi yang sempit, hanya terbatas dalam bidang politik. Pada kajian demokratisasi seperti ini, banyak aktor-aktor yang terlibat sebagai penggerak demokratisasi.
Peran kelas menengah pada masa Orde Baru juga dapat ditunjuk sebagai faktor yang berpengaruh dalam proses demokratisasi. Golongan menengah ini pada umumnya membuat organisasi-organisasi, seperti LSM, organisasi dakwah keagamaan, lembaga pendidikan dan sebagainya. Ketika memasuki organisasi itulah, mulai timbul kesadaran mengenai hak-hak individu, termasuk kebebasan untuk berpendapat. Mereka membentuk apa yang sekarang disebut masyarakat madani atau civil society.
Pembangunan nasional Indonesia dalam banyak hal telah menunjukkan keberhasilan. Sistem pendidikan dan media massa, identitas nasional dibangun. Tidak ada yang menyangkal bahwa pembangunan sosial-ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru sangat berhasil. Hal itu dapat kita lihat dari meningkatnya pendapatan perkapita yang sudah mencapai US$ 550, kemampuan baca-tulis orang dewasa yang sudah mencapai 75%, urbanisasi yang sudah menampakkan dirinya serta semakin banyaknya masyarakat yang diekspos media massa. Hubungan antar berbagai kelompok etnis dan agama di Indonesia tidak menampakkan gejala-gejala konflik serius, jika tidak dikatakan sebagai harmonis.
Gambaran di atas nampaknya merupakan gejala demokratisasi yang positif pada masa Orde Baru. Digulirkannya isu “persatuan nasional” oleh rezim Orde Baru memang sudah menjadi prasyarat bagi demokratisasi. Teori Demokrasi umumnya membenarkan bahwa kesatuan nasional adalah prasayarat terwujudnya demokrasi. Merupakan keharusan setiap bangsa untuk mendifinisikan “demos” dari demokrasi. Keberagaman etnik, budaya dan geopolitik serta faktor-faktor lain yang dianggap sebagai penyebab konflik, dilihat sebagai penghambat demokrasi.
Seharusnya, pertumbuhan ekonomi yang mantap selama rezim Suharto berkuasa seharusnya menimbulkan liberalisasi politik. Namun hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, krisis ekonomi yang terjadi malah jatuhnya sang diktator. Hal inilah barangkali yang dijadikan alasan bagi kejatuhan rezim Orde baru, bahwa terjadi ketimpangan dalam proses demokratisasi; dalam bidang politik, ternyata banyak proses demokratisasi yang terhambat. Akibatnya, tuntutan terhadap demokratisasi politik semakin membesar dan puncaknya terjadi pada Mei 1998 dengan ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru.

Kesimpulan
Masa Orde Baru merupakan masa pemerintahan yang paling lama dalam sejarah Indonesia. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap budaya politik Indonesia terutama yang tercermin lewat berbagai institusi negara. Karakteristik pemerintahan Orde Baru yang banyak digambarkan para pengamat paling tidak merupakan hasil dari pengamatannya terhadap unsur-unsur budaya politik yang membangunnya. Menurut Anders Uhlin, Struktur politik Orde Baru dibangun dengan model bureucratic-authoritarian atau birokratik otoriter, yaitu suatu sistem yang diterapkan oleh suatu rezim yang kekuasaan dan proses politik dipusatkan pada satu orang atau satu kelompok. Struktur ide yang digunakan Orde Baru itu dibuat sedemikian rupa untuk melegitimasi pemerintahan yang otoriter, seakan-akan demokratis dan mendapat dukungan rakyat. Struktur ide tersebut dibangun melalui gagasan budaya Jawa mengenai kekuasaan. Kekuasaan dianggap konkret, homogen, kuantitas yang konstan dan tanpa implikasi moral.
Demokratisasi yang terjadi pada masa Orde Baru pada tahap tertentu berhasil namun tidak disertai dengan keterbukaan politik. Akibatnya adalah terjadi ketimpangan yang melahirkan krisis ekonomi-politik berkepanjangan.



Daftar Bacaan

Abueva, Jose, Demokratisasi di Indonesia, dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No.3, Maret-Juni 2001

Almond, Gabriel dan Sidney Verba, The Civic Culture, Princeton, Princeton University Press, 1963

Emmerson, Donald K., Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics, Cornell University Press, 1976

Gaffar, Afan, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000

Huntington, Samuel P., Gelombang Demokratisasi Ketiga, (terj.), Asril Marjohan, Jakarta, PT. Pustaka Grafiti, 2001

Linz, Juan J. et. al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Belajar dari Kekeliruan Negara-negara Lain, (terj.)Rahmani Astuti, Bandung, Mizan, 2001

Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1985

Ridwan, M. Deden dan Asep Gunawan (Ed.), Demokratisasi Kekuasaan, Jakarta, LSAF, 1999

Sjamsuddin, Nazaruddin (Ed.), Profil Budaya Politik Indonesia, Jakarta, Graffiti, 1991

Tim Peneliti LIPI, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Bandung, Mizan, 2000

Uhlin, Anders, Oposisi Beserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, (terj.) Rofik Suhud, Bandung, Mizan, 1998

Uhlin, Anders, Ph.D, Demokratisasi di Indonesia: Peluang dan Hambatan, Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 2, Tahun I, 1999

Read More......